Senin, 03 Januari 2011

BIOTEKNOLOGI

30 January 2010
Penemuan Terbaru: Air Elastis

Ilmuwan Jepang telah menciptakan "air elastis."

Dikembangkan di Tokyo University, materi baru ini sebagian besar terdiri atas air (95%) dengan tambahan dua gram tanah liat dan bahan organik. Menyerupai zat yang dihasilkan agar-agar atau gel, namun sangat elastis dan transparan.
Penemuan ini awalnya terungkap minggu lalu dalam edisi terbaru majalah ilmiah Nature. Menurut para ilmuwan Jepang, bahan baru ini sangat aman untuk lingkungan dan manusia, dan sangat mungkin untuk menjadi salah satu media penting dalam teknologi kedokteran untuk menolong yang terluka atau menyelesaikan pembedahan yang aman (seperti menggantikan bagian-bagian tubuh yang dipotong).
Bahkan dengan meningkatkan densitasnya, material baru ini dapat digunakan untuk menghasilkan "bahan plastik ekologis," atau bisa menggantikan plastik sama sekali. Tahap ini masih dalam penelitian hingga September 2010. Namun jika berhasil, para ilmuwan mungkin telah menemukan sebuah terobosan untuk membuat dunia sedikit lebih hijau.



Penemuan Plastik Hijau Yang Mudah Dibuat dan Didaur Ulang
Rabu, 24 Februari 2010 - 13:05:25 Oleh irawati
Ilmuwan-ilmuwan Engineering and Physical Sciences Research Council berhasil mengembangkan polimer yang bisa diurai secara alamiah. Polimer yang terbuat dari biomassa dan dikenal dengan nama lignoselulosa tersebut dibuat dari tanaman non-pangan seperti rerumputan, pohon yang tumbuh cepat, limbah pertanian atau makanan.
Dr Charlotte Williams, ketua tim riset EPSRC, mengatakan, Terobosan utama kami adalah menemukan cara untuk menggunakan tanaman non-pangan untuk membentuk suatu polimer, karena ada isu-isu etis tentang sumber makanan dengan menggunakan cara ini. Saat ini memang banyak penelitian yang dilakukan untuk mencari plastik hijau, terutama untuk pemakaian seperti kemasan sekali pakai pada produk-produk makanan.
Sekitar 7% dari seluruh sumber minyak dan gas dunia digunakan dalam pembuatan plastik, dengan produksi di seluruh dunia melebihi 150 juta ton per tahun. Hampir 99% dari plastik terbentuk dari bahan bakar fosil.
Pengembangan plastik bio-degradabel yang dilakukan Dr. William membutuhkan waktu yang panjang. Kurang lebih tiga setengah tahun untuk melakukan riset dan mendorong hasil polimer mencapai 80% dengan konsumsi airnya rendah selama proses produksi. Tantangan yang harus dihadapi saat ini adalah memproduksi dalam jumlah besar, ujar Dr Williams.
Riset tersebut sangat penting, mengingat polylactide, plastik hijau yang saat ini banyak dikenal, membutuhkan energi tinggi dan memerlukan air dalam jumlah yang besar selama proses produksinya. Selain itu, ketika mencapai akhir umurnya, polylactide harus terdegradasi dalam fasilitas industri dengan suhu tinggi.

Sebaliknya, gula yang kaya oksigen dalam polimer baru Dr. William bisa menyerap air dan menurunkan produk-produk berbahaya - yang berarti dapat digunakan sebagai kompos rumahan dan pupuk bagi tanaman.
Pengembangan material plastik tersebut sangat menjanjikan dan saya optimis bahwa teknologinya bisa digunakan dalam waktu dua sampai lima tahun, kata Williams, yang juga sudah menjalin kerja sama dengan sejumlah mitra komersial dan sangat ingin melibatkan orang lain tertarik pada materi. [eprsc]



Ban Mobil Buatan Mikroba
Jumat, 26 Maret 2010 - 10:51:41

Tim Planethijau
Sebuah perusahaan bioteknologi, Genencor, bekerja sama dengan Goodyear melakukan penelitian untuk membuat ban mobil dengan material karet terbuat dari gula yang didapat dari biomassa. Hanya saja untuk mendongkrak produksi isoprena dari mikroba ke skala yang lebih besar sehingga bisa bersaing dengan karet berbahan dasar minyak bumi merupakan tantangan besar.
Sebuah modifikasi lanjutan telah dilakukan oleh para peneliti dari divisi riset Genencor untuk meningkatkan produksi bio-isoprena dengan mengubah cara kerja metabolisme mikroba yang digunakan. Rencananya tahun depan perusahaan tersebut akan membangun pabrik bio-isoprene skala pilot guna mendukung riset yang dilakukannya.
Para ahli bioteknologi di Genencor menggunakan bakteri E.coli untuk menghasilkan isoprena. Usaha rekayasa genetik yang dilakukan sejak dari tahun 2007 belum membuahkan hasil yang memuaskan, hingga pada tahun ini mereka berhasil menemukan metode untuk menghasilkan isoprena dari prekursor / pendahulunya. Mereka mencangkokkan gen tanaman yang sudah direkayasa untuk isoprena sintase, sebuah enzim yang langsung mengubah prekursor menjadi isoprena.
Isoprena yang pada temperatur ruang berupa gas, keluar dari dalam sel dengan tanpa merusaknya serta meninggalkan media tempat bakteri dikulturkan. Menurut Rich Laduca, direktur bisnis senior Genencor, tanpa pemurnian, sistem bisa menghasilkan 99% gas isprena murni. Dalam pembuatan karet berbahan bio-isoprena, kemurnian sangat dibutuhkan, karena keberadaan kontaminan akan menggagalkan fungsi katalis yang digunakan untuk mempolimerkan isoprena menjadi karet sintetik.
Goodyear produsen ban mobil papan atas telah menggunakan bio-sioprena yang dibuat oleh Genencor untuk membuat karet sintetik yang menjadi bahan dasar ban-ban mobil prototipnya. Jika demikian halnya, maka riset yang dilakukan Genencor dan Goodyear mengurangi kekhawatiran ketergantungan industri ban mobil dan produk-produk lainnya yang menggunakan karet sebagai bahan dasarnya terhadap minyak bumi.
[technologyreview]]

Pemanasan global berdampak negatif bagi ekonomi negara-negara miskin
Rabu, 18 Maret 2009 - 11:09:41
Tim Planethijau
Penelitian terbaru yang dilakukan MIT terhadap perubahan iklim menunjukkan bahwa negara-negara miskin di dunia paling terpengaruh dengan kenaikan suhu akibat pemanasan global.
Seperti yang dikutip WBUR, kesimpulan tersebut diambil setelah menganalisa data-data dari setiap negara di seluruh dunia lebih dari 50 tahun. Penelitian tersebut juga lebih memfokuskan pada perubahan suhu dan pengaruhnya terhadap kinerja ekonomi di setiap negara. Ahli ekonomi di MIT, Ben Olken, menyatakan bahwa setiap kenaikan suhu 1 Celcius pada tahun tertentu akan mengakibatkan penurunan ekonomi sebesar 1%.
"Kemungkinan yang terjadi adalah bahwa pada tahun-tahun terpanas, sektor pertanian juga mengalami hasil panen yang buruk. Akibatnya akan terjadi resesi ekonomi mini dan berimbas pula pada sektor ekonomi lainnya," imbuhnya.
Olken juga menambahkan, selain mengganggu sektor pertanian, kenaikan temperatur juga menurunkan produksi industri, investasi dan kestabilan politik. Lemahnya ekonomi negara miskin memang mudah terpengaruh oleh pemanasan global. Hal itu diperkuat dengan data yang didapat dari negara-negara kaya, dimana perubahan suhu tidak menghasilkan efek yang berarti.


Xeros Ltd Kembangkan Mesin Cuci Dengan Butiran Nilon, Hemat Air Hingga 90%
Jumat, 12 Maret 2010 - 10:19:18 Oleh liveonearth
Jika saat ini mesin cuci masih menggunakan banyak air, maka bisa dipastikan semakin lama masalah berkurangnya air bersih akan menjadikan mesin cuci generasi saat ini tidak berfungsi optimal bahkan tidak bisa digunakan. Saat ini mesin cuci menyerap sebesar 15% dari total konsumsi air dalam rumah tangga.
Mengantisipasi hal tersebut sebuah perusahaan di Leeds, Inggris menciptakan mesin cuci yang hanya membutuhkan air sebanyak 10% dibandingkan mesin cuci generasi saat ini. Sebanyak 90% digantikan oleh butiran-butiran kecil sepanjang 3 milimeter yang terbuat dari nilon.
Xeros Ltd, perusahaan yang mengembangkan mesin cuci tersebut membuat nilon yang mempunyai kemampuan untuk menghilangkan noda. Menurut Bill Westwater, CEO Xeros, mesin cuci tersebut mengurangi pemakaian deterjen. listrik dan tentunya air yang berarti menghemat 30% dari biaya-biaya yang dikeluarkan untuk mencuci. Westwater juga mengklaim mesin cuci produksinya berhasil melewati pengujian terhadap bermacam kain dengan noda mulai dari lumpur, anggur, minyak hingga tinta pulpen.
Polimer yang digunakan merupakan ide dari Stephen Burkinshaw, seorang ahli kimia polimer di Leeds University. Selama 30 tahun Burkinshaw berusaha meningkatkan pewarna plastik untuk digunakan di dalam kain. Beberapa tahun kemudian usahanya tersebut membawanya menggunakan plastik untuk menyerap noda.
Eksperimennya berhenti pada nilon, setelah sebelumnya menggunakan berbagai jenis plastik. Nilon menarik noda-noda ke permukaannya pada kelembaban 100%. ''Nilon tidak hanya menyerap noda kain, tetapi juga tidak akan melepaskannya kembali ke kain,'' tambah Westwater.
Jika nilon tersebut sudah mencapai kejenuhannya, maka butiran-butiran nilon bisa dikumpulkan untuk didaur ulang, seperti misalnya untuk membuat dashboard mobil. Tetapi Burkinshaw berencana membuat sistem di dalam mesin cucinya agar bisa mendaur ulang butiran tersebut untuk langsung digunakan kembali.
Teknologi yang dikembangkan Xeros juga diklaim mampu mengurangi jejak karbon yang setara dengan membawa 1,4 juta mobil ke jalanan, jika semua orang di Inggris menggunakan teknologi tersebut.
[guardian]


Mengubah Polusi Suara Menjadi Energi Dengan Green Noise
Selasa, 26 Januari 2010 - 16:03:45
Tim Planethijau

Pernah terpikir untuk mengubah polusi suara menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat? Jika iya, maka kemungkinan Anda juga bisa menghasilkan suatu konsep yang telah dibuat oleh Hung-Uei Jou, sang desainer dan diberi nama Green Noise, jika Anda berusaha keras.
Green Noise adalah perangkat yang bekerja menangkap dan mengubah energi suara menjadi listrik. Bentuknya mirip dengan loudspeaker dengan tujuan memperkuat elemen-elemen yang ada didalamnya. Sebuah tripod digunakan sebagai pengyangga untuk mempermudah perawatan.
Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah dimanakah lokasi yang mempunyai tingkat kebisingan yang tinggi? Tidak lain bandara adalah jawabannya. Green Noise memang direncanakan untuk diaplikasikan pada landasan pacu bandar udara, listrik yang dihasilkan oleh Green Noise akan digunakan oleh perangkat tersebut untuk menyalakan lampu yang terdapat pada masing-masing perangkat.
Jika konsep ini bisa dibawa ke dalam skala prototip, maka tentunya hal tersebut menjadi sangat bermanfaat bagi bandara di seluruh dunia. Hanya saja hingga tulisan ini diturunkan, spesifikasi teknis Green Noise belum diungkapkan oleh sang desainer.


TRIGON, Kendaraan Commuter Ramah Lingkungan Dan Efisien
Selasa, 23 Februari 2010 - 13:41:53 Oleh greenlover
Pasangan desainer industri TH Alexandros Katinis dan Kim Katinis membawa konsep kendaraan yang dijuluki TRIGON pada Michelin Challenge Design, sebuah lomba desain yang diadakan oleh Michelin, produsen ban kendaraan papan atas.
TRIGON sebagai kendaraan konsep yang ditujukan bagi kota-kota dengan lalu lintas padat sekaligus mengurangi polusi udara, yang sebagian besarnya merupakan pekerja yang commuter, berangkat dan pulang kembali dari tempat kerja. Menurut Katinis bersama dengan tim desainernya, desain yang diterapkan pada TRIGON dengan volume, berat dan beban minimum menjadikan kendaraan tersebut memberikan efisiensi yang lebih baik.
TRIGON sendiri merupakan kendaraan berpenumpang satu orang dengan tiga roda, dimana dua roda di bagian depan sebagai penggerak, digerakkan oleh motor listrik. Dengan dimensinya yang kecil dan berat ringan, TRIGON mampu berkelok dan masuk di antara dua mobil tanpa perlu takut kehujanan dan kepanasan.
Kenyamanan TRIGON memang tidak lepas dari polesan tim desainer Katinis. Arsitektur ruang kemudi dan posisi pengemudinya menjadi fokus mereka untuk menjamin kenyamanan berkendara. Selain itu karena penggunaan komponen kendaraan juga berkurang, maka akan mudah untuk mendaur ulang komponen-komponennya dan mengurangi pemborosan dan limbah bahan bakunya.
[michelin]


Bahan Sampo Perawatan Rambut Bisa Menjadi Kunci Untuk Menurunkan Emisi CO2
Selasa, 30 Maret 2010 - 13:53:54
Tim Planethijau
Teknologi penangkap karbondioksida saat ini menjadi penting mengingat pemanasan global yang terjadi mmebutuhkan teknologi yang mampu mengurangi emisi gas tersebut ke dalam atmosfir. Hanya saja teknologi yang ada saat ini masih mahal dan tidak efisien.

Dalam Pertemuan Nasional ke 239 American Chemical Society (ACS), Robert Perry dan rekan kerjanya memaparkan bahwa pembangkit listrik batubara merupakan sumber emisi CO2 terbesar. Dari 8.000 pembangkit listrik batubara yang ada di Amerika Serikat, sebanyak 2,8 milyar ton CO2 dilepas ke atmosfir setiap tahunnya. Belum lagi dari 50.000 pembangkit listrik serupa dari seluruh dunia.
Berangkat dari hal tersebut, Robert Perry, seorang ahli kimia bekerja sama dengan GE Global Research di Niskayun, New York, mengembangkan sebuah material yang dalam pengujian skala laboratorium mampu menyerap lebih dari 90% CO2 yang ditambahkan ke dalam sistem.
Aminosilikon, material yang bisa ditemukan dalam produk shampo perawatan rambut, pelembut pakaian ataupun plastik fleksibel yang tahan terhadap suhu tinggi tersebut dikembangkan lebih jauh. Material yang berbentuk larutan tersebut, rencananya akan diuji untuk menyerap CO2 dan kemudian memindahkannya ke sebuah sistem yang berfungsi memisahkan CO2 dari aminosilikon. Larutan aminosilikon selanjutnya akan didaur ulang untuk bereaksi kembali dengan gas dari cerobong asap.
[GE Global Research

Tidak Ada Cara Mudah Mengatasi Pemanasan Global dari Sisi Geoteknik Kelautan
Sabtu, 20 Februari 2010 - 07:08:16 Oleh erry hermawan
Pemanasan global tak pelak lagi menguras banyak pikiran para ahli untuk mengatasinya. Beberapa waktu lalu sempat ada wacana oleh John Holdren yang menurut beberapa pakar, tingkat kegagalannya masih terlalu tinggi.
Beberapa waktu lalu sebuah sebuah riset telah dilakukan oleh Profesor Andreas Oschlies dari Leibniz Institute of Marine Sciences (IFM-GEOMAR) di Kiel, Jerman untuk mengetahui sejauh mana efektifitas metode memompa air kaya nutrien ke permukaan laut.
Pada awalnya, tujuan yang ingin dicapai dari memberikan gizi kepada phytoplankton yang biasanya terapung di atas permukaan laut sangat jelas. Produktifitas bertambah, jumlahnya juga akan meningkat signifikan. Hasilnya, sebanyak 36 Gigaton CO2 akan diserap per tahunnya dan tertimbun di bawah laut bersamaan dengan matinya phytoplankton-phytoplankton tersebut. Angka tersebut merupakan pemodelan komputer oleh Profesor Oschlies bersama timnya.
Tampak melegakan jika studi yang dilakukan tim dari National Oceanography Centre, Southampton AS (NOCS) tersebut hanya berhenti sampai disitu.
Pemodelan terintegrasi dengan meniru seluruh sistem bumi menunjukkan hasil yang agak mengejutkan. Air dingin dari kedalaman laut yang dipompakan ke permukaan akan mendinginkan atmosfir dan permukaan tanah. Akibatnya proses dekomposisi bahan-bahan organik di dalam tanah menurun dan efek lainnnya adalah sebanyak 80% akan disimpan dalam tanah. Hal lainnya yang mengejutkan adalah ketika pompa-pompa dimatikan (dalam simulasi tersebut), maka tingkat karbon dioksida di atmosfir dan suhu permukaan cenderung meningkat lebih tinggi dari sebelumnya.
Temuan ini mengungkap kemungkinan terburuk yang diterima lingkungan dengan dimatikannya pompa akibat sesuatu yang tidak terduga. Dr Andrew Yool dari NOCS menambahkan, ''Semua model hanya membuat berbagai macam asumsi dan menghasilkan banyak ketidakpastian, tetapi berdasar pada temuan kami, sangatlah sulit untuk melihat penggunaan pompa untuk mendorong produksi phytoplankton di permukaan sebagai cara yang layak dan tepat untuk mengatasi pemanasan global''.
[National Oceanography Centre]


Produksi Listrik Dari Pembangkit Listrik Tenaga Bayu Skala Besar Berpengaruh Terhadap Iklim
Jumat, 19 Maret 2010 - 08:10:36 Oleh liveonearth
Angin merupakan salah satu fenomena alam yang ternyata mempunyai fungsi sebagai fluida pendingin permukaan bumi seperti yang diungkapkan dalam hasil riset ilmuwan-ilmuwan Massachusetts Institute of Technology. Selain itu angin merupakan potensi energi terbarukan yang cukup menjanjikan. Hanya saja timbul pertanyaan bagaimana hubungan antara pembangkit listrik tenaga bayu yang digunakan untuk memanen energi angin dalam skala besar dengan fungsi angin untuk menjaga temperatur permukaan bumi.
Menurut Ron Prinn, profesor Ilmu Atmosfir, bersama dengan Chien Wang, ilmuwan di jurusan Ilmu Bumi, Atmosfir dan Planet, pembangunan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) dalam jumlah yang besar ternyata berpengaruh pada suhu di permukaan bumi, baik di daratan maupun di lautan. Saat ini teknologi PLTB sangat berkembang pesat, sehingga aplikasinya tidak hanya di daratan tetapi juga di laut.
Profesor Prinn dan rekannya menggunakan model iklim untuk menganalisa efek dari jutaan turbin angin yang kelak dipasang di daratan dan lautan dalam skala global. Hasilnya cukup mengagetkan karena ternyata ada kenaikan suhu sebesar 1 derajat celcius di wilayah daratan di mana ladang turbin angin berada, sementara sedikit kenaikan suhu juga terjadi di luar wilayah tersebut. Sedangkan di wilayah permukaan laut yang terpasang turbin angin, terjadi penurunan suhu sebesar 1 derajat celcius. Selain itu, ketidaksinambungan energi angin justru membutuhkan alternatif cadangan energi yang menyerap biaya, seperti pembangkit listrik gas alam.
Menurut kedua ilmuwan tersebut, kenaikan suhu tersebut terjadi karena ladang turbin angin mempengaruhi dua proses penting dalam pengaturan suhu secara alamiah dan sirkulasi atmosfir, yaitu gerakan turbulen vertikal dan perpindahan panas horisontal. Gerakan turbulen merujuk pada proses dimana panas dan uap air berpindah dari permukaan daratan atau lautan ke atmosfir yang lebih rendah, sedangkan perpindahan panas horisontal merupakan proses di mana angin dalam skala besar memindahkan panas yang berlebihan dari suatu wilayah yang hangat ke wilayah yang lebih dingin, biasanya dalam arah horisontal. Proses perpindahan panas ini lebih penting karena mencakup area yang luas, sementara gerakan turbulen lebih bersifat lokal.
Dalam analisa mereka, ladang turbin angin yang berada di daratan ternyata mengurangi kecepatan angin, terutama di bagian belakang ladang tersebut. Akibatnya, kekuatan proses gerakan turbulen dan perpindahan panas horisontal juga berkurang. Hal ini berarti panas yang dipindahkan baik ke atmosfir atas ataupun ke area lain juga berkurang. Sementara hasil yang menunjukkan bahwa terjadi penurunan suhu di wilayah ladang turbin angin lepas pantai, menurut mereka hasilnya belum bisa diandalkan, mengingat ditambahkannya parameter gesekan antara angin dengan permukaan laut dalam bentuk gelombang besar. Mereka masih memerlukan riset bersama dengan ilmuwan aeronautika untuk menentukan parameter-parameter yang lebih tepat.
Meski hasil riset kedua ilmuwan tersebut yang juga diterbitkan di jurnal Atmospheric Chemistry and Physics, yang juga menjelaskan bahwa untuk memenuhi permintaan energi secara global sebesar 10% pada tahun 2100 dari energi angin, seolah memberikan gambaran ketidakramahan PLTB, tetapi mereka menegaskan bahwa hasil riset mereka belum terbukti benar, masih dibutuhkan riset lebih jauh dari ilmuwan-ilmuwan lainnya.[Massachusetts Institute of Technology]

Peneliti NREL Kembangkan Kacamata ''Sunglasses'' Bagi Gedung dan Bangunan
Selasa, 16 Februari 2010 - 09:46:38
Tim Planethijau
National Renewable Energy Laboratory (NREL) mengembangkan kaca jendela yang berubah warna sesuai dengan perubahan intensitas sinar matahari. Hal yang sama yang juga dilakukan oleh RavenBRick dengan produknya RavenWindow dan berfungsi seperti kacamata sunglasses.
Kaca jendela tersebut akan berubah warna menjadi lebih gelap untuk memantulkan sebagian besar sinar matahari jika intensitas sinar pada saat itu lebih tinggi dibanding offset yang dimiliki kaca. Jika intensitas sinar matahari turun, maka warna kaca jendela akan berubah menjadi lebih transparan untuk meluluskan sebagian besar sinar matahari masuk ke dalam ruangan.
Tujuan dari riset kaca jendela yang mempunyai kemampuan self adjusting terhadap intensitas sinar matahari adalah untuk mendapatkan efisiensi energi dengan berkurangnya pemakaian pengkondisi ruangan (AC). Menurut NREL, sebesar 40% energi listrik dikonsumsi oleh gedung-gedung dan bangunan. Dengan menggunakan kaca tersebut, setidaknya sebesar seperdelapan dari konsumsi energi di gedung-gedung dan bangunan-bangunan bisa dihemat.
NREL sendiri telah bekerja dalam program Electrochromic Initiative and Windows Technology sejak tahun 1980, dengan belajar dari sel surya, terutama teknologi sel surya film tipis. Teknologi kaca yang dikembangkan NREL terdiri dari dua lapisan elektrode yang dipisahkan oleh sebuah lapisan konduktor ion dengan ketebalan ketiganya hanya 1 mikron, setebal sel surya film tipis dan diproduksi dengan metode yang sama.Bahkan karena kemiripannya dengan sel surya, para peneliti berencana untuk mengembangkan kaca jendela tersebut juga bisa menghasilkan listrik tambahan bagi gedung-gedung serta bangunan-bangunan yang menggunakannya. 

Studi : Smart Grid Bisa Menghemat Energi
Jumat, 05 Februari 2010 - 14:02:20
Tim Planethijau
Pacific Northwest National Laboratory (PNNL), salah satu lembaga riset di bawah Departemen Energi Amerika Serikat, belum lama ini mempublikasikan hasil penelitiannya tentang pengaruh pemakaian jaringan transmisi cerdas (smart grid) terhadap emisi karbon dan energi. Pengaruh terhadap kedua obyek tersebut dilakukan secara langsung dengan penggunaan teknologi baru dan secara tidak langsung dengan menjadikan energi terbarukan dan program efisiensi lebih terjangkau dan berpotensi lebih besar.
Menurut hasil laporan yang mendapat dana dari program penelitian dan pengembangan smart grid oleh Office of Electricity Delivery and Energy Reliability, dengan mengoptimalkan pemakaian smart grid, Amerika Serikat bisa mengurangi 442 juta metrik ton emisi karbon atau setara dengan emisi yang dikeluarkan oleh 66 pembangkit listrik batu bara yang menghasilkan listrik bagi 70 juta rumah.
Dalam laporan itu juga dijelaskan bahwa sembilan mekanisme yang mungkin bisa mengurangi emisi karbon telah dianalisa, dan rekomendasinya adalah melakukan riset-riset lanjutan di sektor tersebut pada waktu-waktu mendatang. Beberapa mekanisme tidak menunjukkan hasil yang signifikan, sementara lainnya memperlihatkan kemungkinan untuk mengurangi energi sebesar 3%. Jika digabungkan, maka kesembilan mekanisme tersebut bisa mengurangi karbon hingga 12% bahkan lebih, jelas Rob Pratt, ilmuwan PNNL. Perkiraan tersebut berdasarkan asumsi pemakaian smart grid sudah mencapai 100%.
[energyenvironment.pnl.gov]

RavenWindow, Si Kaca Jendela Penghemat Energi Listrik
Sabtu, 30 Januari 2010 - 13:50:59
Tim Planethijau
Teknologi yang berfungsi untuk menghemat pemakaian energi listrik untuk keperluan pendingin ruangan dalam bangunan berkembang sangat cepat. Salah satunya adalah RavenWindow, yang dibuat dan dipatenkan oleh RavenBrick, perusahaan bermarkas di Colorado, Amerika Serikat.
RavenWindow sebenarnya adalah kaca film yang bersifat termoreflektif yang dikembangkan menggunakan teknologi nano. Jika cahaya matahari pada siang hari berubah-ubah, maka secara otomatis nilai Solar Heat Gain Coefficient (SHGC) RavenWindow juga akan berubah-ubah dengan sendirinya. Solar Heat Gain Coefficient sendiri merupakan koefisien sebagai indikator standar yang menentukan kemampuan jendela dalam membatasi banyaknya sinar matahari yang menembusnya. Semakin kecil nilai SHGC, semakin baik kemampuannya. RavenWindow mempunyai SHGC kurang dari 0,03 pada saat banyak sinar matahari yang mengenainya, dan bernilai 0,35 atau bahkan lebih jika hanya sedikit cahaya matahari yang mengenainya.
Menurut RavenBrick, keuntungan yang didapat dengan teknologi yang dimiliki RavenWindow adalah menurunnya konsumsi energi listrik untuk pemanas dan pendingin ruangan, yang berarti juga berkurangnya biaya untuk tagihan listrik kurang lebih 50%. RavenWindow sendiri tidak menyerap energi listrik untuk bekerjanya sistem termoreflektifnya.
Dengan telah dikeluarkannya paten bagi teknologi RavenWindow, rencananya RavenBrick akan memasarkan dan bekerja sama dengan industri kaca untuk mengintegrasikan teknologinya.
[ravenbrick]

Produksi air minum kemasan botol menyerap energi yang besar
Selasa, 24 Maret 2009 - 00:11:20
Tim Planethijau
Air bersih merupakan kebutuhan dasar yang tidak mungkin digantikan. Sementara kini, dengan kondisi iklim akibat pemanasan global, penggundulan hutan, dan semakin banyaknya polusi air yang terjadi akibat aktivitas manusia, air bersih semakin sulit didapatkan. Air minuman kemasan kini menjadi alternatif untuk mendapatkan air bersih. Sumber mata air dan proses yang higienis merupakan beberapa di antara banyak faktor yang menjadikan minuman kemasan menjadi alternatif terbaik.
Konsumsi air kemasan, terutama dalam botol, meningkat sebesar 70% sejak tahun 2001 hingga tahun 2007. Peningkatan sebesar 200 milyar liter tersebut juga mempunyai dampak bagi lingkungan, ekonomi dan sosial. Ada satu hal yang menarik bahwa banyaknya persentase peningkatan konsumsi air kemasan botol ternyata mengakibatkan ketidakefisiensian dari sisi energi. Di tahun yang sama, konsumen di Amerika Serikat, 33 milyar liter air kemasan botol, atau 110 liter (30 galon) per orang, yang berarti menyerap energi sebanyak 32-54 juta barel minyak. Sepertiga konsumsi energi Amerika Serikat digunakan untuk memproduksi air kemasan botol.

Sebuah studi yang dilakukan oleh para peneliti di Pacific Institute, Oakland, California, menunjukkan bahwa untuk memproduksi air kemasan botol membutuhkan 5,6 hingga 10,2 juta joule energi per liternya, tergantung faktor-faktor transportasinya. Angka tersebut 2.000 kali lebih banyak dibandingkan energi yang dibutuhkan untuk memproduksi air keran atau air ledeng, yang hanya sekitar 0,005 juta joule per liter untuk pengolahan dan distribusinya.

Peter Gleick dan Heather Cooley, para peneliti tersebut, mendapati bahwa energi terbesar yang digunakan ada pada saat produksi kemasan botol plastik dan pengirimannya. Satu kemasan botol kecil terbuat dari polyethylene terephthalate (PET), dan ditandai dengan kode daur ulang "1" di Amerika Serikat. Sementara untuk kemasan yang lebih besar, terbuat dari polycarbonate, yang membutuhkan 40% lebih banyak energi untuk memproduksinya dibandingkan PET. Meski beberapa perusahaan bereksperimen dengan memproduksi botol-botol yang lebih ringan, para peneliti memperkirakan besar energi untuk produksi PET sendiri bisa mencapai 4 juta joule energi per 1 liter dengan berat botol PET 38 gram dan tutup botol seberat 2 gram. Meski menggunakan bahan yang bisa didaur ulang bisa menghemat energi, tetapi sebagian besar botol dibuat dari PET murni.

Studi tersebut sebelumnya hanya menunjukkan bahwa produksi air kemasan botol membutuhkan energi yang besar, tetapi hasilnya cukup mengejutkan karena sebagian besar energinya atau setara dengan 17 juta barel minyak bumi dibutuhkan hanya untuk memproduksi botol-botol minuman kemasan dan transportasinya yang antara lain mulai dari pengambilan air dari sumber mata air, baik dari air tanah ataupun air keran yang sudah diolah, dan sebagian kecilnya dibutuhkan untuk pengolahan, bottling, sealing, labeling, dan pendinginan.

Para peneliti tersebut berharap, dengan data-data yang ada dan studi yang akan dilakukan di waktu mendatang bisa memberikan perkiraan yang lebih spesifik dengan skenario yang berbeda-beda serta bisa menemukan cara untuk mengurangi konsumsi energi pada proses produksi air kemasan botol.

Air Limbah Sebagai Bahan Bakar Fuel Cell
Senin, 07 September 2009 - 13:29:27
Tim Planethijau
Berawal dari seminar teknologi fuel cell yang baru saja diikutinya, Gerardine Botte, seorang associate profesor teknik kimia dan biomolekuler di Russ College of Engineering and Technology, mendapatkan ide untuk menghasilkan hidrogen dengan metode elektrolisa air. Meski metode yang digunakan masih menggunakan elektrolisa, tetapi Botte membawanya selangkah lebih maju.
Ide yang dibawa Botte memang menggunakan metode yang tidak baru lagi, tetapi alih-alih menggunakan air bersih, Botte berpikir untuk memanfaatkan air limbah.
Menurut Botte, ammonia yang biasanya banyak terdapat dalam air limbah bisa dipisahkan untuk kemudian diubah menjadi hidrogen. Riset yang dihasilkannya merupakan teknologi fuel cell pertama yang menggunakan amonia. Teknologi yang dinamakan "sel elektrolit amonia" tersebut bisa menghasilkan hidrogen sesuai kebutuhan. Artinya, pada saat diperlukan hidrogen langsung bisa dihasilkan.
Selain itu dengan menggunakan teknologi tersebut, efisiensi dalam menghasilkan hidrogen juga lebih baik dibandingkan dengan elektrolisa air. energi yang diperlukannya juga hanya sebesar 5% jika dibandingkan elektrolisa air untuk menghasilkan hidrogen.
Amonia sendiri merupakan sumber terbarukan. Menurut Botte, setidaknya di Amerika Serikat sebanyak 5 juta ton amonia setiap tahunnya mengalir ke saluran pembuangan dalam bentuk urin manusia ataupun hewan.
Saat ini berdasar idenya, beberapa riset juga dilakukan di Ohio University dengan cabang-cabang elektrolisa amonia yang lebih spesifik untuk aplikasinya pada kendaraan dan rumah tinggal. [Ohio University]
Produksi Hidrogen Dengan Suara dan Getaran
Rabu, 17 Maret 2010 - 16:24:53 Oleh rahman budi
Memproduksi hidrogen dengan menguraikan air mungkin bukanlah hal baru selama metode yang digunakan masih menggunakan elektrolisa yang memerlukan energi listrik dari luar. Beberapa waktu yang lalu memproduksi hidrogen juga bisa dilakukan dengan memanfaatkan sinar matahari.
Kini, beberapa ilmuwan dari University of Wisconsin-Madison berhasil menemukan metode baru untuk memisahkan ikatan molekul hidrogen dengan oksigen. Hasil riset mereka telah diterbitkan di Journal of Physical Chemistry Letters. Alih-alih menggunakan elektrolisa, mereka memanfaatkan suara ataupun getaran dari lingkungan dengan menggunakan kristal-kristal nano terdiri dari zinc oksida dan barium titanat dan menempatkannya ke dalam air.
Ketika serat-serat suatu material mengalami pembengkokan, struktur asimetris di dalamnya akan menghasilkan muatan positif dan negatif dan menciptakan potensial listrik. Fenomena ini disebut dengan efek piezoelektrik. Efek yang sama juga terjadi pada serat kristal nano yang dikembangkan para ilmuwan di University of Wisconsin-Madison. Serat-serat tersebut sebenarnya bahan yang rapuh, tetapi pada skala nano kemampuan fleksibilitasnya tinggi. Huifang Xu, ahli geologi dan kristal di universitas tersebut menjelaskan bahwa perbedaan antara serat kristal biasa dengan yang berteknologi nano ibarat fiberglass dengan kaca
Serat yang lebih kecil lebih mudah dilengkungkan dibanding kristalnya dan karenanya lebih mudah menghasilkan muatan listrik. Sejauh ini efisiensi yang bisa dicapai adalah 18%, lebih tinggi dibanding sumber energi eksperimental lainnya.
Xu menambahkan, karena ukuran serat dan piringan bisa disesuaikan, maka suara sekecil apapun seperti getaran dan aliran air, bisa digunakan untuk menggetarkannya.
Dengan teknologi yang tepat, Xu membayangkan energi-energi yang lebih kecil bisa dipanen lebih banyak, misalnya berjalan sambil mengisi ulang telepon seluler atau pemutar musik, dan hembusan angin bisa menyalakan lampu-lampu jalanan.
[ecoGizmo]
Lebih Mudah Membuat Hidrogen Dari Urin Atau Air ?
Senin, 06 Juli 2009 - 08:42:15
Tim Planethijau
Berapa banyak kendaraan yang berhenti di stasiun pengisian bahan bakar dalam sehari? Mungkin ratusan. Dan berapa banyak pengemudi termasuk penumpangnya yang menghabiskan waktu beberapa menit di toilet di waktu yang sama? Bisa mencapai ribuan. Bisa dibayangkan berapa banyak urine yang terkumpul di stasiun pengisian bahan bakar tersebut.
Belum lama ini, Chemistry World, sebuah media yang membahas tentang perkembangan riset, bisnis dan kebijakan, menerbitkan hasil riset produksi hidrogen yang dilakukan ilmuwan dari Ohio University, Gerardine Botte, yang sebelumnya telah ditulis dalam jurnal Chemical Communications.
Botte melihat kemungkinan untuk memproduksi hidrogen dari limbah urine yang menurutnya lebih mudah dibandingkan menghasilkan hidrogen dari air. Metode yang digunakannya juga tidak berbeda jauh dengan metode yang banyak digunakan terhadap air, yaitu elektrolisa.
Yang menarik dari riset yang dilakukannya tersebut adalah kemudahan membuat hidrogen dari urine, yang sebagian besarnya terdiri dari urea. Urea sendiri memiliki empat atom hidrogen dalam setiap molekulnya. Ikatan antar atom hidrogennya juga tidak sekuat ikatan atom hidrogen air.
Untuk mengurai molekul urea tersebut, Botte membuat sebuah elektrode yang terbuat dari nikel. Pemilihan nikel tersebut berdasarkan kemampuannya untuk memisahkan urea dari molekul lain dan mengoksidasinya dengan efisien. Selama terjadi proses elektrokimia, urea menempel di atas permukaan elektrode dan kemudian diurai oleh aliran arus listrik dari elektrode tersebut. Jika untuk mengurai molekul air dibutuhkan tegangan sebesar 1,23 Volt, maka untuk mengurai hidrogen ini hanya dibutuhkan 0,37 Volt.
Menurut Botte, teknologi tersebut mudah untuk discale up untuk menghasilkan hidrogen dan sekaligus membersihkan fasilitas penampung dan pengolah air limbah.

Mengubah air menjadi hidrogen dan oksigen dengan replikasi proses fotosintesa
Rabu, 08 Oktober 2008 - 10:19:01
Tim Planethijau
Monash University yang menjadi team leader para peneliti dari berbagai institusi, berhasil mereplikasi proses fotosintesa dengan menggunakan bahan kimia yang ada pada tumbuhan untuk memecah air menjadi hidrogen dan oksigen.

Terobosan baru tersebut tentunya dapat merubah teknologi yang kini banyak digunakan industri energi terbarukan dengan menghasilkan hidrogen sebagai bahan bakar yang ramah lingkungan secara lebih mudah dan murah di skala komersial.

Tim peneliti internasional yang terdiri dari profesor Leone Spiccia, Mr Robin Brimblecombe dan Dr Annette Koo dari Monash University, Dr Gerhard Swiegers dari CSIRO serta Professor Charles Dismukes dari Princeton University, mengembangkan suatu sistem yang bisa dimasukkan bersama mangan untuk membentuk suatu lapisan, bahan kimia utama yang menghasilkan fotosintesis pada tanaman. Penelitian mereka telah dipublikasikan di Angewandte Chemie, International Edition.

''Cluster mangan merupakan sentral bagi tanaman dalam memanfaatkan air, karbon dioksida dan sinar matahari untuk menghasilkan karbohidrat dan oksigen. Tiruan kumpulan-kumpulan mangan tersebut yang dibuat oleh professor Charles Dismukes beberapa waktu lalu telah kami kembangkan lebih jauh untuk mendapatkan kemampuannya mengubah air menjadi oksigen dan hidrogen,'' papar professor Spiccia.

''Terobosan itu kami dapatkan dengan melapisi anoda dengan konduktor proton yang disebut Nafion untuk membentuk membran polimer dengan ketebalan hanya beberapa mikrometer, yang berfungsi sebagai tempat bagi cluster mangan. Normalnya di dalam air, ketika kami rekatkan suatu katalis dengan membran Nafion, katalis tersebut lebih stabil terhadap dekomposisi dan lebih penting lagi, ari bisa mencapai katalis dimana air akan beroksidasi saat terkena cahaya. Proses ''oksidasi'' tersebut menghasilkan proton dan elektron, yang bisa diubah menjadi gas hidrogen daripada menjadi karbohidrat seperti yang dilakukan tanaman. Meski banyak orang telah berhasil memecah air menjadi hidrogen dan oksigen selama bertahun-tahun, tetapi kami yang pertama melakukan hal yang sama dengan menggunakan sinar matahari, tegangan listrik 1,2 volt dan bahan kimia dasar yang digunakan tanaman untuk tujuan tersebut,'' jelas professor Spiccia.

Pengujian yang dilakukan di laboratorium juga menunjukkan bahwa katalis tersebut masih tetap aktif setelah tiga hari digunakan.

Menurut professor Spiccia, efisiensi sistem tersebut masih perlu ditingkatkan, tetapi terobosan yang telah dilakukan mempunyai potensi yang sangat besar.
Hidrogen dari sampah biodiesel
Jumat, 07 Desember 2007 - 09:24:53
Tim Planethijau
Proses pembuatan biodiesel menghasilkan sampah berupa glycerol dengan kualitas rendah. Dalam jumlah besar, glycerol ini akan menimbulkan masalah lingkungan dan bertambahnya biaya yang harus dikeluarkan untuk menanganinya.

Dr. Valerie Dupont dan rekan-rekan penelitinya dari University of Leeds mempunyai solusi atas permasalahan tersebut dengan menerapkan metode baru untuk mengubah glycerol menjadi gas hidrogen.

Teknologi pemrosesan yang dikembangkan oleh Dr. Dupont adalah mencampur glycerol dengan uap pada tekanan dan temperatur yang terkendali. Proses ini memisahkan komponen-komponen dari glycerol menjadi hidrogen, air dan karbon dioksida, dan tanpa meninggalkan sisa-sisa sampah. Proses tersebut juga menggunakan bahan penyerap khusus yang berfugsi untuk menyaring karbon dioksida dan menghasilkan gas hidrogen yang lebih murni.

Dr. Dupont sendiri mengklaim bahwa metode yang digunakannya lebih bersih, murah dan efisien dibandingkan dengan metode yang banyak digunakan saat ini. Prosesnya mendekati karbon netral, karena menurutnya, CO2 yang dihasilkannya bukan berasal dari bahan bakar fosil. Sementara itu, produksi hidrogen dengan menggunakan bahan bakar fosil seperti gas alam sebagai bahan bakunya, dinilainya mahal dan tidak akan bisa terus menerus tercukupi, sedangkan teknologi elektrolisa air dianggapnya kurang efisien untuk memproduksi hidrogen.
''Mencuri'' Listrik Dari Algae
Selasa, 06 April 2010 - 09:43:41 Oleh rahman budi
''Kami telah menunjukkan bahwa kami bisa mencuri arus listrik dari algae,'' ungkap Fritz Prinz, ilmuwan dari Stanford University. Untuk pertama kalinya para ilmuwan dari California dan Korea berhasil mencuri arus listrik dari algae.

Dalam hal mencuri, beberapa jenis mahluk hidup telah mencuri energi dari tanaman dan algae sejak dulu. Biasanya mereka mengambil energi kimia yang disimpan menjadi gula, sari pati dan molekul-molekul lain.

Tetapi apa yang dilakukan ilmuwan-ilmuwan mengambil cara yang sedikit berbeda. Mereka mengambil elektron dari algae yang banyak dikenal dan diteliti, Chlamydomonas reinhardtii. Untuk mengambilnya, sebuah tegangan lebih (overvoltage) diberikan kepada sel algae, maka terjadilah aliran listrik sesaat yang sangat kecil mengalir ke dalamnya.

Hanya saja agar tegangan lebih tersebut bisa memancing algae menghasilkan elektron, algae harus dipaparkan di bawah sinar matahari atau cahaya. Jika tidak maka tidak akan ada aliran elektron yang dihasilkan algae tersebut.

Besarnya arus yang dihasilkan dari algae masih sangat kecil. Jauh dari cukup untuk menyuplai listrik bagi perangkat elektronik. ''Untuk menghasilkan arus sebesar 1 Ampere akan dibutuhkan triliunan sel algae yang saling dihubungkan,'' tambah Prinz.

Proses untuk menghasilkan listrik dari algae tersebut juga mengurangi umur algae hingga beberapa puluh menit. Lebih jauh lagi jumlah arus listrik yang dihasilkan masih belum menyamai besarnya listrik yang dibutuhkan untuk memicu algae untuk menghasilkannya. Artinya untuk menyuplai peralatan elektronik memang masih belum praktis, bahkan hingga beberapa tahun ke depan.

Meski demikian, apa yang telah dilakukan Fritz Prinz bersama dengan rekan kerjanya telah memberikan jalan baru bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
U.S. Department of Energy

Rokok Bisa Jauh Lebih Mahal, Jika Tembakau Berpotensi Sebagai Biofuel
Senin, 04 Januari 2010 - 09:16:11
Tim Planethijau
Ada kabar baik bagi yang tidak suka asap rokok, tetapi menyukai energi ramah lingkungan, tetapi kabar buruk bagi penggemar rokok karena harus merogoh dompet lebih dalam untuk hanya sekedar menghisap asap nikotin.
Sebuah penelitian yang dilakukan Vyacheslav Andrianov, Ph.D., profesor asisten Cancer Biology di Thomas Jefferson University, menyatakan bahwa berdasar penelitian yang telah dilakukan timnya, tembakau sebagai bahan utama pembuat rokok ternyata bisa menghasilkan biofuel lebih efisien dibandingkan tanaman pangan lainnya.
''Tembakau sangat menarik untuk diimplementasikan sebagai biofuel karena ide yang diambil adalah menggunakan tanaman yang tidak digunakan dalam produksi makanan. Kami juga telah menemukan metode untuk merekayasa secara genetik tanaman tersebut sehingga daun-daunnya bisa menghasilkan lebih banyak minyak. Dalam hasil penelitian, tembakau rekayasa kami menghasilkan 20 kali lipat minyak dari daunnya,'' papar Dr. Andrianov.

Saat ini bagian terbanyak dari tembakau yang menghasilkan minyak adalah bijinya, kurang lebih sebesar 40% per berat kering. Hanya saja, tembakau menghasilkan biji yang jumlahnya relatif terbatas, kurang lebih 1,5 ton per hektar.

Sedangkan daun tembakau umumnya hanya menghasilkan 1,7% hingga 4% minyak per berat kering. Untuk menghasilkan minyak lebih banyak, ada dua gen yang bisa direkayasa, yaitu diacyglycerol acytransferase (DGAT) atau leafy cotyledon 2 (LEC2). Modifikasi gen DGAT menghasilkan minyak hingga 5,8% per berat kering daun, atau hampir dua kali lipat normalnya. Sedangkan modifikasi gen LEC2 menghasilkan 6,8% minyak.

''Berdasar data penelitian kami, tembakau menunjukkan potensi menariknya sebagai alternatif tanaman penghasil energi, dan sekaligus menjadi model bagi pengembangan tanaman berpotensi biomassa tinggi untuk produksi biofuel,'' jelas Dr. Andrianov. Jika penelitian tersebut berkembang lebih jauh dan menunjukkan hasil yang memuaskan, maka kemungkinan tembakau akan mengalami kenaikan harga sama seperti tanaman pangan yang digunakan sebagai biofuel.
[Thomas Jefferson University]

Katak Menginspirasi Ilmuwan Untuk Kembangkan Metode Fotosintesa Guna Menghasilkan Biofuel
Sabtu, 20 Maret 2010 - 14:04:04
Tim Planethijau
Riset untuk memanfaatkan energi surya untuk menghasilkan energi dalam bentuk lain seperti yang terjadi pada proses fotosintesis telah banyak dilakukan. Sebagian besar masih menggunakan metode penguraian air menjadi oksigen dan hidrogen, sedangkan yang dilakukan oleh ilmuwan di University of Cincinnati adalah menghasilkan biofuel dengan lebih efisien dan ekonomis.

Fotosintesis alamiah merupakan proses pengubahan berbagai komponen yang diambil tanaman dari udara dan tanah, seperti karbon dan nutrien, menjadi gula dan oksigen dengan memanfaatkan sinar matahari. Tidak berbeda jauh dari fotosintesis, metode yang digunakan oleh ilmuwan dari University of Cincinnati adalah mengubah beberapa komponen yang terdapat pada material busa yang terbuat dari tanaman, bakteri, katak dan enzime jamur menjadi gula dengan bantuan sinar matahari dan karbon dioksida.

Keduanya memang terlihat sama, tetapi metode yang digunakan para ilmuwan tersebut, menurut mereka mempunyai beberapa keuntungan dilihat dari sisiaplikasinya. Pertama, sinar matahari dimanfaatkan sepenuhnya untuk membentuk gula, dimana pada tumbuhan sebagian besar sinar matahari juga dimanfaatkan untuk menjaga fungsi-fungsi organiknya. Kedua, material busa tidak membutuhkan tanah untuk berfotosintesa, sehingga tidak diperlukan ruang bermanfaat untuk menghasilkan gula. Lebih jauh lagi, fotosintesis tanaman berhenti bekerja ketika berada di lingkungan dengan tingkat kandungan karbon dioksida yang sangat tinggi, tidak demikian dengan metode yang digunakan para ilmuwan di University of Cincinnati, karena material busa tersebut mengandung bakteri yang berfungsi menangkap cahaya.

Apa yang dikembangkan oleh para ilmuwan tersebut berawal dari katak yang hidup di area semi tropis. Tungara, nama katak tersebut, mempunyai sarang busa yang digunakan sebagai tempat untuk berkembang bagi kecebong-kecebongnya. Sarang yang berumur panjang tersebut memungkinkan reaktan efektif, sinar dan udara tetap masuk ke dalamnya.

Hasil riset yang dilakukan para ilmuwan tersebut juga telah dipublikasikan online dalam jurnal Nano Letters dengan judul ''Artificial Photosynthesis in Ranaspumin-2 Based Foam'' pada awal Maret lalu. Rencananya riset akan dilanjutkan dengan mengubah campuran enzim serta mengambil lemak yang ada di dinding algae dan isi sitoplasma, dan menggunakan protein-protein tersebut dalam material busa. Metode tersebut diharapkan mencapai kelayakannya untuk digunakan sebagai carbon capture pada pembangkit listrik batu bara.[university of cincinnati]

Koktail Enzim Ubah Biomassa Menjadi Biofuel Lebih Murah dan Mudah
Jumat, 19 Februari 2010 - 14:17:39
Tim Planethijau
Henry Daniell, profesor di University of Central Florida, telah berhasil menemukan cara untuk mengurai kulit jeruk dan kertas koran menjadi ethanol. Metodenya jauh lebih ramah lingkungan dan murah jika dibandingkan dengan metode yang digunkan saat ini untuk menghasilkan ethanol sebagai bahan bakar kendaraan-kendaraan. Tujuan yang ingin dicapainya adalah menggantikan bensin dengan bahan bakar alternatif.

Ethanol yang saat ini banyak digunakan di Amerika Serikat diproses dari jagung dimana proses untuk menghasilkannya justru melepaskan gas rumah kaca lebih banyak daripada bensin. Satu hal ironis, dimana satu sisi ingin menghasilkan bahan bakar alternatif ramah lingkungan, tetapi di satu sisi prosesnya menjadi tidak ramah lingkungan.

Sementara, teknik yang dikembangkan Daniell, yang juga mendapatkan bantuan dana dari Departemen Pertanian Amerika Serikat, memanfaatkan campuran berbagai macam enzim atau koktail enzim, yang dihasilkan tanaman untuk mengurai biomassa. Setelah diurai, maka proses selanjutnya yang berupa fermentasi untuk menjadikannya ethanol menjadi lebih mudah.

Campuran enzim yang didapat dengan metode transgenik kloroplas tersebut terdiri dari lebih sepuluh enzim yang digunakan sesuai dengan struktur selulosa biomassa yang akan diuraikan. Kulit jeruk misalnya menggunakan enzim pectinase lebih banyak, sedangkan limbah kayu memerlukan enzim xylanase yang lebih banyak. Enzim yang digunakan tim riset Profesor Daniell merupakan enzim yang banyak ditemukan di alam dan diproduksi oleh berbagai jenis spesies mikroba, termasuk bakteri dan jamur.

Demikian halnya Profesor Daniell, sebagian besar enzim tersebut dihasilkan dari tanaman tembakau yang sudah dicangkokkan gen kloning dari bakteri dan jamur pembusuk kayu. Alih-alih menggunakan proses manufaktur yang menghasilkan enzim sintetis, proses pencangkokan ini jauh lebih murah dan menghasilkan ethanol yang juga murah.

Profesor Mariam Sticklen dari Michigan State University, yang pada tahun 2008 mendapatkan perhatian internasional karena risetnya yang menggunakan enzim dari sapi memudahkan proses mengubah jagung menjadi ethanol, juga menambahkan bahwa hasil yang didapat Profesor Daniell merupakan pencapaian besar. Hasil riset Profesor Daniell juga telah dipublikasikan di jurnal Plant Biotechnology.

Tembakau saat ini memang dinilai banyak peneliti sebagai tanaman alternatif penghasil biofuel. Selain karena tanaman tersebut bukan tanaman pangan, tembakau juga menghasilkan energi yang banyak per hektarnya serta penggunaannya akan jauh lebih bermanfaat dibandingkan hanya digunakan sebagai bahan baku rokok. [University of Central Florida]
Militer Amerika Serikat Gunakan Sampah Untuk Hasilkan Listrik
Selasa, 13 Oktober 2009 - 07:14:13
Tim Planethijau
Sampah yang mempunyai potensi sebagai sumber energi, menarik perhatian militer Amerika. Perusahaan dengan spesialisasi peralatan dan pertahanan tempur, Qinetiq, mendapatkan kontrak untuk mengembangkan sebuah sistem yang bisa menghasilkan listrik dari sampah.

PyTEC, sistem yang menggunakan tabung pyrolisis, mampu secara terus menerus mengubah 100 kg sampah per jamnya. Sampah yang masuk ke dalam tabung tersebut dipanaskan dalam temperatur tinggi dan menghasilkan gas yang bisa terbakar. Gas tersebut kemudian disimpan untuk kemudian dibakar guna menghasilkan listrik. Energi yang dihasilkan lima kali lebih banyak daripada energi yang digunakan untuk menjalankan sistem tersebut.
Meski menggunakan pyrolisis, tetapi menurut Qinetiq, pyrolisis yang digunakan berbeda dengan kebanyakan teknologi pyrolisis saat ini yang memanaskan sampah tanpa oksigen. Selain itu sampah yang dipanaskan biasanya cenderung homogen.
Qinetiq mengembangkan sistemnya untuk mampu memanaskan berbagai jenis sampah, bahkan meski sampah tersebut bercampur dengan gelas ataupun kaleng. Selain menghasilkan energi, PyTEC juga menghasilkan produk sampingan yang hanya sebesar 5% dari volume awal sampah.
Mengenai kesiapan sistem tersebut, Qinetiq menjelaskan bahwa HMS Ocean, kapal perang Inggris telah menggunakan sistem tersebut selama setahun.
Qinetiq juga menjelaskan bahwa PyTEC juga bisa digunakan di luar keperluan militer, antara lain untuk keperluan komersial dan pribadi, mengingat kebutuhan mengurangi jejak karbon semakin meningkat di berbagai belahan dunia.
Rencananya PyTEC akan mulai dioperasikan militer Amerika Serikat pada 2010, dan menjalani serangkaian pengujian hingga 2012.
Rencananya PyTEC akan mulai dioperasikan militer Amerika Serikat pada 2010, dan menjalani serangkaian pengujian hingga 2012.

Enzim Baru Konversi Limbah Pertanian Dengan Biaya Kompetitif
Rabu, 17 Februari 2010 - 14:55:12 Oleh rahman budi
Terobosan yang dilakukan perusahaan bioteknologi Novozymes memungkinkan industri biofuel untuk memproduksi ethanol dengan biaya kurang dari 2 dolar US per galon. Dengan harga tersebut, ethanol bisa bersaing dengan bensin dan ethanol konvensional lainnya.
Novozymes menjelaskan bahwa enzim yang dinamakan Cellic CTec2, akan mengurai selulosa dari limbah pertanian menjadi gula yang bisa difermentasi menjadi ethanol, serta bisa mengubah tongkol dan batang jagung, jerami gandum dan serpihan kayu menjadi bahan bakar.
Kami telah mengembangkan enzim tersebut selama 10 tahun dan akan diluncurkan bagi konsumen dan pasar pada tahun 2010 ini, ungkap Steen Riisgaard, CEO Novozymes . Riisgaard juga berharap ethanol selulosa semakin lama menjadi semakin murah.
Riset yang dilakukan Novozymes juga mendapatkan bantuan dana sebesar 29,3 juta US dolar dari Departemen Energi Amerika Serikat dan produksi selulosa ethanol komersial skala besar dijadwalkan akan dimulai pada tahun 2011.
[afp]
Swedia Produksi Biofuel Berbasis Kelinci
Senin, 26 Oktober 2009 - 14:20:02
Tim Planethijau
Biofuel merupakan bahan bakar yang berasal dari tanaman atau bahkan hewan. Meski tanaman lebih banyak dipilih karena ketersediaannya yang lebih besar, namun binatang juga terkadang dipilih sebagai alternatif.
Hanya saja yang dilakukan Swedia tidak pantas disebut sebagai produks biofuel. Seperti yang dilaporkan majalah Scientific American beberapa waktu lalu, Swedia menggunakan sumber biofuel yang tidak lazim digunakan yaitu kelinci. Stockholm memang mempunyai banyak kelinci-kelinci kelaparan yang memasuki taman kota. Populasi kelinci yang berlebihan merupakan sumber biofuel. Banyak orang melakukan perburuan dan kemudian mengirimkan kelinci-kelinci hasil buruan mereka ke sebuah pabrik pengolahan biofuel.
Konovex, yang juga anak perusahaan Daka Biodiesel, merupakan sebuah perusahaan yang memproduksi biofuel berbasis kelinci. Daka sendiri merupakan perusahaan yang memproduksi bahan bakar kendaraan dan pemanas yang dibuat dari tanaman dan binatang.
Meski energi terbarukan, terutama biofuel, memang sedang menuju perkembangan yang lebih baik, tetapi moral kita tentunya tetap mengatakan "tidak" dengan hal-hal tersebut. Binatang-binatang seperti kelinci, ayam dan sebagainya bukanlah sumber energi yang harus dibantai untuk dijadikan biofuel. Ketersediaannya saja, baik dalam kuantitas maupun kesinambungannya, masih jauh dari nyata.[Scientific American]

Hidrokinetik Sungai Mississippi Berpotensi Besar Dimanfaatkan Menjadi Listrik
Rabu, 24 Maret 2010 - 15:37:13
Tim Planethijau
Energi air masih menjadi salah satu sumber energi terbarukan yang cukup menjanjikan di Amerika Serikat. Sebuah lokasi, tepatnya di sungai Mississippi yang merupakan sungai terbesar kedua, akan dibangun sebuah pembangkit listrik yang hanya memanfaatkan aliran arus sungai.
Free Flow Power tampaknya mempunyai teknologi yang tepat bagi sungai dengan debit 12,743 m3/s tersebut hingga mengajukan proposal yang menunggu persetujuan dari Federal Energy Regulatory Commission (FERC). Berdasar data dari militer AS, air sungai Mississippi mengalir dengan kecepatan 6 kilometer per detik, dan dengan berat massa yang lebih besar dari udara, maka secara teori energi yang dibangkitkan bisa mencapai 800 kali dari energi angin.
Menurut perusahaan yang berbasis di Gloucester, Massachusetts AS tersebut, teknologinya sudah melalui berbagai tahapan termasuk di dalamnya adalah analisa dampak lingkungan. Desain turbin propeler yang akan digunakan menggunakan pelumas dari air, sehingga jika terjadi kerusakan, maka tidak ada minyak yang akan mencemari air di sekitarnya. Hanya saja dengan sistem pelumasan tersebut, efisiensi sistem juga dikorbankan. Produk yang ada, SmarTurbine bisa memanfaatkan arus sungai dengan kecepatan 2,25 meter per detik untuk menghasilkan 10 kiloWatt, sementara turbin lainnya bekerja dengan kecepatan arus air sebesar 3 meter per detik untuk menghasilkan 40 kiloWatt.
Pembangkit listrik arus sungai memang tidak beda jauh dengan arus laut, hanya saja air sungai lebih segar dan tingkat salinitasnya rendah, sehingga kemungkinan korosi bisa jauh dikurangi dengan pemilihan material yang sesuai.
[physorg]

Kaktus Bisa Menjadi Salah Satu Penghasil Listrik Alternatif
Senin, 05 April 2010 - 12:34:58 Oleh rahman budi
Tanaman yang tersedia di alam masih menawarkan teknologi yang bisa ditiru manusia. Salah satunya adalah kaktus. Tanaman yang hidup di tanah gurun dan gersang dengan banyak duri di tiap batangnya menjadi pusat penelitian para peneliti di Centre de Recherche Paul Pascal (CNRS).
Para peneliti pada awalnya mengembangkan sel biofuel yang bisa menghasilkan energi dengan memanfaatkan dua produk fotosintesis yaitu gula dan oksigen. Kemudian sel biofuel tersebut dimasukkan ke dalam tanaman kaktus dan mengukur energi yang dihasilkannya mencapai 9 watt setiap satu sentimeter persegi.
Dengan mengamati aktivitas sel biofuel, para ilmuwan bisa melihat proses fotosintesis dan mengikuti perubahan glukosa di dalam tanaman. Mereka bahkan bisa mengamati perubahan arus listrik yang dihasilkan sel biofuel naik atau turun sesuai dengan mati nyalanya lampu meja di dalam ruang riset.
Inovasi tersebut membuka jalan mengetahui proses fotosintesa bekerja tetapi juga membuka jalan bagi pengembangan teknologi yang bisa mengubah energi surya menjadi listrik dengan bantuan tanaman.
[Centre de Recherche Paul Pascal]

Mahasiswa ITB Manfaatkan Ketan Hitam Sebagai Sel Surya
Sabtu, 06 Februari 2010 - 14:07:16
Tim Planethijau
Sekelompok mahasiswa teknik Fisika ITB yang terdiri dari M Kasyful Fuadi, Riyan Achmad Budiman, dan Fahiem Fanani, berhasil menghasilkan listrik dari ketan hitam yang diambil ekstraknya untuk sel surya. Hasil riset tersebut sempat ditampilkan di ITB Fair 2010 yang diselenggarakan pada awal bulan Februari.

Meski hanya menghasilkan arus sebesar 1,9 miliAmpere, sel surya ketan hitam yang termasuk sel surya organik tersebut setidaknya bisa menghasilkan listrik. Pengembangan dan riset lanjutan memang masih diperlukan.

Sebelumnya, para mahasiswa tersebut pernah melakukan eksperimen pada beberapa jenis tanaman dan buah, seperti rumput, daun, stroberi dan buah delima. Hanya saja hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Menurut mereka, pemilihan berbagai jenis tanaman dan buah tersebut didasarkan pada teori bahwa semua tanaman merupakan penyerap energi matahari yang sangat baik.

Fotosintesis memang merupakan proses konversi energi yang paling efisien. Berbagai riset bahkan dilakukan untuk meniru cara kerja tanaman dalam mengubah energi matahari yang diterimanya menjadi glukosa. Saat ini para ilmuwan berusaha mengubah dan merekayasa gen berbagai tanaman untuk mendapatkan struktur-struktur sel yang nantinya bisa berfungsi mengubah sinar matahari menjadi listrik.
Suatu material jika akan digunakan untuk menghasilkan arus listrik, maka harus memiliki sifat konduktif, seperti silikon. Dan hingga kini silikon masih menjadi bahan utama yang digunakan untuk bahan dasar semikonduktor. Yuniar Gitta Pratama menambahkan ketan hitam memiliki kandungan dan sifat-sifat bahan yang sama dengan silikon sintetik yang biasanya digunakan untuk semikonduktor elektronika dan sebagai bahan dasar wafer bagi sel surya. Meski hasil yang diharapkan belum maksimal, setidaknya temuan itu bisa menjadi langkah awal untuk melakukan riset lebih jauh dye-sensitezed solar cell (DSSC) dengan berbagai bahan yang berasal dari bio organik lainnya.[tribunjabar] 

Tembakau Berpotensi Menjadi Sel Surya
Jumat, 29 Januari 2010 - 09:35:42
Tim Planethijau
Usaha untuk mendapatkan sel surya organik masih terus dilakukan. Di tahun 2009, University of Southampton maju selangkah dengan dikembangkannya teknologi sel surya yang meniru proses fotosintesa. Kini di tahun 2010, para ilmuwan di University of California, Berkeley (UCB), Amerika Serikat, berhasil melakukan rekayasa genetik untuk mendapatkan sel surya dari tanaman.

Berbicara tentang tembakau, lagi-lagi para penikmat nikotin mungkin harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli sebatang rokok jika kelak tanaman tembakau mempunyai potensi sebagai penghasil energi listrik. Kali ini tembakau kembali digunakan para peneliti University of California, Berkeley sebagai obyek yang tepat dalam riset untuk mendapatkan sel surya organik.

Menurut para peneliti tersebut, tembakau dan termasuk tanaman lainnya berpotensi untuk menghasilkan energi listrik. Mekanisme fotosintesis pada semua tanaman merupakan proses konversi energi yang sangat efisien. Hanya saja proses konversi tersebut mengubah sinar matahari menjadi gula. Tembakau dipilih sebagai obyek riset karena telah memiliki virus tersendiri yang sudah dikenal lama. Tanpa bantuan virus mosaik tembakau ini, menurut mereka, usaha untuk mendapatkan sel surya organik dengan kemampuan konversi energi seefisien fotosintesa menjadi sangat berat dilakukan.

Virus mosaik sendiri bekerja dengan memerintahkan tembakau membentuk struktur-struktur kecil, yang secara normal tembakau sendiri tidak akan menghasilkannya. Struktur-struktur itu nantinya berfungsi sebagai alat pengubah sinar matahari menjadi listrik.

Dalam laporan penelitian yang juga diterbitkan di jurnal Nano Letter terbitan American Chemical Society (ACS), para peneliti melakukan rekayasa genetik pada virus. Umumnya sel yang terinfeksi virus akan menggandakan virus yang menginfeksinya. Tetapi dalam riset UCB, DNA virus diprogram ulang untuk memerintahkan tembakau membentuk chromophore buatan, struktur pengubah sinar matahari menjadi listrik.

Virus kemudian diinjeksikan ke tanaman tembakau dan bereaksi. Satu persatu chromophore bergabung membentuk tangga spiral DNA yang panjang. Jarak antar chromophore itu sendiri hanya 2 - 3 nanometer, jarak yang tepat dimana elektron-elektron di tiap molekul atom chromophore tidak melompat ke atom lainnya atau bisa dikatakan aliran elektron masih tertahan. Lebih dari jarak tersebut, elektron menjadi sulit untuk dipanen.

Struktur yang terbentuk tidak dapat menghasilkan listrik atau senyawa kimia. Untuk memanfaatkan fungsi strukturnya, tembakau harus dipanen, dipotong-potong kecil dan diekstrak. Ekstrak tersebut kemudian dilarutkan dalam suatu larutan, dan kemudian disemprotkan di atas substrat kaca atau plastik yang telah dilapisi dengan molekul untuk menahan larutan struktur tersebut.

Fotosintesis memang mekanisme luar biasa. Seperti yang diungkapkan Angela Belcher, peneliti dari Massachusset Institute of Technology, meniru fotosintesis sangatlah sulit dilakukan. Jarak antar struktur menjadi sangat penting, dan tidak mudah untuk mengambil molekul-molekul dan meletakkannya sesuai dengan keinginan pada jarak yang tepat sama. Meski demikian usaha keras tersebut akan terbayar jika sel surya yang terbuat dari bahan organik bisa diproduksi. Walaupun memang tidak berumur panjang jika dibandingkan sel surya berbasis silikon, tetapi banyak keuntungan yang didapat, antara lain ramah lingkungan, murah dan bisa didaur ulang.
discovery channel
Jepang Akan Bangun 14 PLTN Dalam 20 Tahun Ke Depan
Senin, 22 Maret 2010 - 13:05:49
Tim Planethijau
Sebagai negara yang memiliki sumber daya terbatas, Jepang, berencana akan membangun 14 Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dengan tenggat waktu 20 tahun. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya mengurangi ketergantungan negara tersebut pada negara-negara lain untuk memenuhi kebutuhan energinya.

Negara perekonomian terbesar kedua di dunia ini bermaksud menggandakan persediaan bahan bakar dari tenaga nuklir. Namun, proyek ini baru akan diputuskan Jepang pada pengumuman Juni mendatang, kata harian bisnis Nikkei. Pemerintah berniat membangun delapan PLTN pada 2020, kemudian menambah enam buah lagi pada 2030 untuk menggandakan angka menjadi 70 persen dari kebutuhan listriknya.

Jepang akan menyediakan dana proyek bagi perusahaan yang bekerja pada proyek-proyek tenaga nuklir di luar negeri. Negeri Sakura ini telah memiliki beberapa sumber daya energi yang bergantung pada tenaga nuklir dari 53 pembangkit, untuk memenuhi hampir sepertiga dari kebutuhan listrik dalam negeri.
GE dan Hitachi Manfaatkan Produk Daur Ulang Limbah PLTN
Jumat, 19 Februari 2010 - 07:47:58
Tim Planethijau
Di mata GE Hitachi Nuclear Energy, sebuah perusahaan yang dibentuk antara General Electric dan Hitachi, limbah nuklir dari PLTN masih bisa dimanfaatkan kembali menjadi bahan bakar nuklir dengan teknik daur ulang.

PLTN konvensional di Amerika Serikat hanya memanfaatkan 5% dari energi bahan bakar nuklir. Limbah yang dihasilkannya masih menyimpan potensi energi yang besar. Teknik yang ditawarkan GE Hitachi Nuclear Energy, nantinya akan menghasilkan dua jenis bahan bakar nuklir yang berbeda. Salah satunya tetap bisa digunakan menjadi bahan bakar PLTN konvensional, sedangkan yang kedua hanya bisa menjadi bahan bakar dalam reaktor neutron cepat dengan teknologi yang lebih maju.

Sebenarnya teknik daur ulang limbah nuklir sudah lama diperkenalkan, hanya saja teknik tersebut masih mendapat kritikan keras akibat munculnya kekhawatiran terhadap penyalahgunaan bahan bakar yang dihasilkannya. Plutonium murni yang dihasilkan dari teknik tersebut biasa digunakan dalam pembuatan senjata nuklir.

Dengan kondisi tersebut, GE Hitachi menawarkan sebuah proses yang akan menyulitkan pemanfaatan produk daur ulang menjadi senjata dengan memisahkan limbah dari PLTN konvensional menjadi tiga aliran limbah dengan memberikan tegangan listrik pada garam cair.

Material limbah yang pertama terdiri dari produk fisi, yang tidak dapat lagi digunakan sebagai bahan bakar dan akan perlu disimpan, tapi waktu penyimpanan yang diperlukan akan berkurang dari puluhan ribu tahun untuk beberapa ratus tahun (walaupun sebagian kecil dari bahan masih perlu untuk disimpan lebih dari 10.000 tahun).

Material kedua adalah uranium yang tidak mempunyai kandungan bahan fisi untuk digunakan dalam reaktor uranium air ringan di AS, yang membutuhkan uranium yang diperkaya, tetapi dapat digunakan oleh reaktor uranium deuterium (air berat) yang digunakan di Kanada.

Produk limbah terakhir merupakan campuran dari unsur-unsur transuranic termasuk plutonium dan neptunium. Plutonium tidak dipisahkan dari unsur-unsur lainnya, dan campuran itu melepas panas 1.000 kali lebih banyak dan melepas neutron 10.000 kali banyak dibandingkan plutonium murni. Campuran transuranic tersebut bisa digunakan pada reaktor yang menggunakan sodium cair sebagai pendinginnya. Tipe PLTN terakhir ini banyak digunakan di Jepang dan beberapa negara lainnya. GE Hitachi juga sudah mengembangkan reaktor PRISM yang bisa menggunakan campuran bahan bakar tersebut, hanya saja di Amerika Serikat belum disetujui penggunaannya.

Mengingat saat ini di bawah kepemimpinan Obama energi nuklir menjadi salah satu perhatian penting, kemungkinan untuk menerapkan teknologi tersebut guna mengurangi dampak yang mungkin ditimbulkan akibat limbah radioaktif yang disimpan di suatu area tertentu, bisa jauh berkurang. [physorg] 

Lentera surya tingkatkan taraf hidup masyarakat pedesaan India
Selasa, 28 April 2009 - 09:45:41
Tim Planethijau
Di India, energi surya ternyata bisa meningkatkan taraf hidup dan sosial masyarakat di pedesaan-pedesaan yang tidak terjangkau listrik. Setidaknya demikian yang dilaporkan Professor Govindasamy Agoramoorthy dari Tajen University dan Dr. Minna Hsu dari National Sun Yat-sen University di Taiwan, di jurnal Human Ecology setelah melakukan penelitian terhadap keluarga-keluarga yang mendapatkan lentera surya dari Sadguru Foundation.

Beberapa waktu yang lalu, Sadguru Foundation, sebuah lembaga non profit, telah memberikan 100 buah lentera surya ke 25 desa di distrik Dahod, Gujarat, sejak 2004 hingga 2007. Pemberian lentera surya tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan taraf hidup dan sosial masyarakat penggunanya.

Sekitar 70 persen daerah pedesaan di India memang tidak teraliri listrik dan sekitar 60 persen rumah-rumah di pedesaan tersebut menggunakan minyak tanah untuk penerangan. Seperti diketahui minyak tanah merupakan barang mahal, tidak efisien, berpotensi menimbulkan bahaya dan menjadi penyebab gas rumah kaca.

Mereka melihat pengaruh penggunaan lentera surya terhadap pemakaian energi dan kemampuan menabung serta kualitas hidup penggunanya. Para peneliti tersebut juga menetapkan batas kesejahteraan untuk memudahkan mereka menganalisa. Interview dilakukan terhadap wanita-wanita dalam keluarga sebulan sebelum dan sebulan sesudah dikenalkannya lentera surya tersebut.

Hasilnya, pemakaian minyak tanah dan listrik menurun cukup signifikan di semua rumah pengguna. Bahkan dalam setahun setiap rumah mampu menabung sebesar 150 hingga 250 US dollar. Keluarga yang berada pada level di atas batas kesejahteraan dan di bawah kesejahteraan sebelumnya mengkonsumsi listrik yang sama. Setelah menggunakan lentera surya, terlihat bahwa keluarga yang berada di bawah batas kesejahteraan mengurangi secara signifikan konsumsi listriknya.

Kesimpulan yang mereka dapatkan adalah jika energi surya diimplementasikan dengan efisien dan tepat, terutama di daerah-daerah pedesaan maka akan meningkatkan ketahanan energi India di masa depan.

Bantar Gebang Akan Miliki Pembangkit Listrik Berbahan Bakar Sampah
Selasa, 16 Februari 2010 - 13:46:44
Tim Planethijau
TPA Bantar Gebang akan memiliki pembangkit listrik yang memanfaatkan sampah sebagai bahan bakunya. Bagi sebagian warga di sana, informasi ini bisa berarti berita baik, tetapi mungkin bagi sebagian lainnya, akan berakibat pada mata pencaharian dan turunnya perekonomian mereka.

Menurut Kepala Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta Eko Bharuna Subroto, rencananya pemerintah DKI Jakarta akan memanfaatkan sampah yang ada di TPA Bantar Gebang menjadi listrik. Hanya saja masih belum jelas, jenis pembangkit apa yang akan digunakan. Bisa jadi bahan bakunya adalah sampah seperti pada sistem incinerator dengan teknologi plasma atau dengan hanya memanfaatkan gas metan yang tertimbun di bawah sampah.

Jika berjalan sesuai rencana, maka dua pemerintah daerah, Pemprov DKI Jakarta dan Pemkot Bekasi akan mengelola sampah bersama. Sedangkan untuk pembangunan instalasi pengelolaan sampah hingga pembangkitnya, akan ditunjuk pihak swasta dari luar negeri yang memiliki kemampuan modal serta teknologinya. Listrik yang dihasilkannya akan dijual ke PT. PLN sesuai dengan aturan yang berlaku.

Eko juga meyakinkan bahwa proyek ini tidak menimbulkan pencemaran, karena sampah dibakar dengan suhu hingga 1.000 derajat Celcius, sehingga gas yang dihasilkannya tidak berbahaya lagi. Hanya saja yang mungkin dilupakan adalah emisi karbon yang dihasilkannya akan memberikan sumbangan bagi pemanasan global.



Zira, pulau modern yang ramah lingkungan dan tidak tergantung pada minyak bumi
Rabu, 04 Februari 2009 - 14:17:53
Tim Planethijau
Azerbaijan, sebuah negara yang berada di persimpangan Eropa dan Asia Barat Daya, akan membangun sebuah resort yang eco-friendly dan sustainable. Sebuah pulau seluas 1.000.000 meter persegi yang berada di perairan laut Kaspia dipersiapkan untuk keperluan tersebut.

BIG Architects, berbasis di Denmark membuat master plan bagi pemerintah Azerbaijan untuk pembangunan tujuh gedung tinggi yang mewakili tujuh pegunungan tinggi di Azerbaijan. Setiap bangunan tersebut akan berisi rumah-rumah dan ruang publik.

Pulau Zira, berada di teluk ibu kota negara tersebut, akan menjadi sebuah pulau yang tidak tergantung pada minyak bumi serta lebih mengandalkan pada matahari, angin dan air. Untuk menghangatkan dan mendinginkan bangunan-bangunan di pulau tersebut, hanya dibutuhkan pompa-pompa yang ditanamkan di perairan sekitar pulau untuk mensirkulasikan air dari bangunan ke laut dan sebaliknya. Panel surya dipasang dengan sudut yang tepat pada fasade-fasade dan atap-atap bangunan untuk menghasilkan listrik. Turbin angin lepas pantai juga akan digunakan untuk menjamin pasokan listrik bagi pulau.

Sisi lingkungan pun tidak luput dari perhatian para arsitek. Sampah padat biomassa akan digunakan sebagai pupuk untuk tanaman dan berbagai tumbuhan produktif yang akan ditanam di sana. Limbah cair dari rumah-rumah dan bangunan akan dikumpulkan pada satu tempat pengolahan limbah dan didaur ulang untuk irigasi. Untuk air bersih yang bisa dikonsumsi para penghuninya, Zira akan membuat fasilitas penyulingan air laut menjadi air bersih.

FLEXI Lampu Senter Multi Fungsi
Sabtu, 20 Maret 2010 - 16:12:18
Tim Planethijau
LED telah banyak digunakan sebagai lampu penerang pada berbagai aplikasi. Konsumsi listriknya yang sangat rendah serta kuat cahaya yang dihasilkannya terbilang tinggi, menjadikan LED sebagai alternatif pengganti bola lampu konvensional yang banyak digunakan pada lampu senter.

Salah satu yang mencoba menawarkan konsep dengan pemanfaatan teknologi LED adalah FLEXI, sebuah lampu senter yang mempunyai fungsi lebih fleksibel. Sebagai peralatan yang bisa disebut all-in-one solution, konsep yang dibuat oleh desainer-desainer industri yaitu Kyeore Kim, Jaesuk Han, Sungkuk Hong dan Sena Joo, memberikan kemudahan untuk penggunaan sebagai pencahayaan
langsung dan penerangan.

FLEXI dibuat dari lembaran tipis silikon berbentuk persegi empat dengan bagian di sepanjang pinggirnya terpasang LED. Jika memerlukan pencahayaan langsung FLEXI bisa digulung menjadi
berbentuk seperti senter, sedangkan jika hanya membutuhkan penerangan, FLEXI bisa dibiarkan terbuka begitu saja seperti lembaran kertas.
[reviewgadget]

Riset Kembangkan Material Berpori Serap CO2 Untuk Hasilkan Bahan Bakar
Senin, 29 Maret 2010 - 15:26:39 Oleh liveonearth
Ilmuwan dan insinyur dari University of the West of England berkolaborasi dengan University of Bath yang menjadi team leader serta University of Bristol, melakukan penelitian untuk mengembangkan material berpori yang mampu menyerap karbon dioksida dan mengubahnya menjadi bahan kimia yang bisa digunakan sebagai bahan bakar kendaraan atau plastik dalam sebuah proses yang memanfaatkan energi surya.

Dr Frank Marken, dosen kimia senior di University of Bath mengatakan, Proses yang banyak digunakan saat ini lebih mengandalkan pada teknologi yang terpisah dari sistem untuk menangkap dan memanfaatkan CO2. Teknologi yang terpisah tersebut membuat proses menjadi tidak efisien. Dengan menggabungkan proses, efisiensi bisa ditingkatkan dan energi yang dibutuhkan untuk mengurangi CO2 juga dikurangi.

Dr Ioannis Ieropoulos dari University of Bristol menambahkan,Salah satu kelebihan sistem ini adalah digunakannya kemampuan mikroorganisme dalam mengurangi CO2 di atmosfir dan pada waktu yang bersamaan menghasilkan listrik atau hidrogen. Dr David Fermin dari universitas yang sama juga menuturkan bahwa saat ini belum ada teknologi untuk menangkap dan memproses CO2 dari udara dalam skala besar. Faktanya adalah CO2 larut dalam atmosfir dan reaksi kimianya sangat rendah. Dengan menggabungkan desain material cerdas dengan katalisis heterogen, elektrokatalisis dan biokatalisis, maka akan didapatkan teknologi penangkap karbon yang efektif.

Rencananya hasil riset tersebut digunakan dalam cerobong asap industri dan pembangkit ataupun knalpot untuk langsung menyerap karbon yang dilepaskan. Meski masih pada tahap awal, riset yang didanai oleh Engineering & Physical Sciences Research Council (EPSRC) tersebut sangat bermanfaat untuk mengurangi pemenanasan global.sciencedaily

Semen Dan Beton Ramah Lingkungan
Kamis, 04 Februari 2010 - 14:10:24
Tim Planethijau
Sebagian besar orang mungkin hanya tahu bahwa beton tidak ada kaitannya dengan pemanasan global, karena tampak terlihat seperti lumpur yang kemudian mengeras. Tetapi tidak banyak yang menyadari bahwa produksi beton melepas banyak CO2 ke atmosfir. Faktanya, beton yang dihasilkan manusia juga merupakan sumber CO2 terbesar ketiga di dunia.

Dua buah perusahaan kini menggunakan teknologi berbeda yang tidak hanya menjadikan proses pembuatan beton menjadi karbon netral, tetapi mereka juga membuat prosesnya menjadi karbon negatif, artinya beton yang diproduksi menyerap CO2 selama proses pembuatannya.

Calera, perusahaan bermarkas di California, Amerika Serikat, menggunakan teknologi yang mengubah emisi dari cerobong asap industri menjadi beton dan aspal. Proses tersebut dikenal dengan Carbonate Mineralization by Aqueous Precipitation atau CMAP. Proses ini bekerja dengan mengalirkan flue gas melalui air laut dengan pH yang sudah diatur sebelumnya atau air garam basa. Air garam tersebut mengubah CO2 menjadi kalsium dan/atau magnesium karbonat, yang kemudian diendapkan dan dikeringkan menggunakan panas yang didapat dari cerobong. Mineral yang dipadatkan ini kemudian digunakan sebagai semen dan agregat. Dua produk mineral tersebut merupakan dua dari tiga bahan yang digunakan untuk membuat beton, dimana bahan ketiganya adalah air. Menurut Calera proses ini mengurangi 70-90% CO2 dari gas, dan setiap ton beton yang dihasilkan mengandung setengah ton karbon.

CMAP selain bisa menangkap karbon, proses tersebut juga bisa menangkap 95-98% sulfur dioksida dari cerobong asap. Keunggulan lainnya adalah bisa menetralisir polutan lain seperti merkuri, logam, nitorgen dan amonia. Jika dikombinasikan dengan fasilitas desalinasi, maka teknologi tersebut bisa menghasilkan air minum dengan biaya rendah, dimana air laut sudah terpompa masuk ke dalam fasilitas produksi beton dan sudah mengalami proses pembuangan kalsium dan magnesium. Skenario lainnya adalah digunakannya sisa/limbah desalinasi untuk memisahkan CO2 dari cerobong.

Metode yang digunakan Calera saat ini sedang diimplementasikan sebagai pilot project di pembangkit listrik Moss Landing, California

Sementara itu Novacem, yang bermarkas di London, Inggris mengembangkan metode yang berbeda. Novacem menggunakan magnesium silikat sebagai bahan bakunya, berbeda dengan semen Portland tradisional yang menggunakan kapur sebagai bahan baku. Melalui proses dengan pemanasan bersuhu rendah dan karbon rendah, silikat diubah menjadi magnesium oksida, yang kemudian dibuat menjadi semen. Bersamaan dengan mengeringnya semen dan campurannya, bahan-bahan tersebut menyerap CO2. Perusahaan tersebut bahkan mengklaim setiap ton semen yang dihasilkan, sekurang-kurangnya tiga perempat ton CO2 disimpan ke dalamnya. Biaya produksinya juga sebanding dengan semen Portland, dan bisa didaur ulang juga.

Jika produksi massal kedua perusahaan tersebut masuk ke pasar Indonesia, maka setidaknya ada alternatif yang lebih baik lagi untuk dipertimbangkan menjadi pilihan ketika Anda ingin membangun rumah.
[gizmag]


Atap Genting Dua Warna, Solusi Suhu Tinggi Dalam Bangunan Akibat Pemanasan Global
Jumat, 04 Desember 2009 - 09:48:20
Tim Planethijau
Tingginya suhu di dalam gedung ataupun rumah akibat pemanasan global bisa diatasi dengan berbagai cara, salah satunya adalah mengecat genting dengan warna putih serta menanam tumbuhan di atap rumah. Yang menjadi pertanyaan adalah jika gedung atau rumah tinggal tersebut berada di suatu wilayah yang suhunya rendah pada siang hari, maka demikian juga suhu dalam rumah juga semakin rendah. Bahkan jika wilayah tersebut terletak di belahan sub tropis, maka bisa dipastikan ketika terjadi musim gugur atau dingin, suhu di dalam rumah bisa sangat rendah.

Berkaitan dengan hal tersebut, sekelompok peneliti di MIT telah mengembangkan genting yang secara otomatis bisa berubah warna, tergantung dari suhu di sekitarnya. Genting tersebut akan berubah warna menjadi putih ketika suhu menjadi panas dan memantulkan 80% sinar matahari yang mengenai permukaannya. Dan warna genting akan berubah menjadi hitam ketika suhu menjadi rendah. Seperti diketahui Warna hitam lebih cepat dan banyak menyerap panas, meski masih ada 30% sinar matahari yang akan dipantulkannya.

Menurut studi yang dilakukan, dengan 80% sinar matahari yang dipantulkan kembali, artinya akan ada pengurangan biaya pemakaian pendingin ruangan sebesar 20%. Sementara untuk penghematan pemakaian pemanas selama musim dingin belum dilakukan pengukuran.

Tim peneliti dari MIT menggunakan teknologi polimer untuk membuat genting tersebut bisa berubah-ubah warna. Thermeleon, yang diambil dari nama chameleon (bunglon), mencampurkan polimer yang banyak digunakan untuk gel rambut dengan air dan kemudian membungkusnya diantara lapisan gelas dan plastik di bagian atasnya dan plastik fleksibel yang berwarna gelap di bagian bawahnya.

Rencananya tim tersebut akan mengembangkan lebih jauh dengan membuat larutan gel-air tersebut dibungkus dengan lapisan berukuran mikro agar lebih mudah digunakan dalam cat untuk melapisi atap-atap rumah berwarna hitam yang saat ini sudah banyak digunakan. Tentunya hal ini juga akan semakin menurunkan biaya yang harus dikeluarkan jika harus mengganti keseluruhan genting.

Masalah yang masih menghadang di depan adalah ketahanannya terhadap perubahan suhu yang berulang-ulang. Nantinya tim tersebut akan melakukan pengujian pada material yang digunakan dengan mengubah suhunya menjadi dingin dan panas berulang-ulang. Hasil yang didapatkan bisa dijadikan sebagai bahan untuk evaluasi guna perbaikan sebelum teknologi tersebut dibawa ke arah komersial.[MIT News]

Daur Ulang Sampah Plastik Menjadi Bahan Bakar Minyak
Senin, 28 September 2009 - 11:56:41
Tim Planethijau
Sampah plastik memang menjadi masalah bagi lingkungan. Selain banyak mencemari perairan sungai, laut dan tanah, untuk mengubahnya menjadi menarik untuk didaur ulang dan mempunyai nilai jual yang tinggi juga tidaklah mudah. Meski demikian berbagai usaha masih dilakukan oleh banyak perusahaan. Salah satunya adalah Envion.
Envion, sebuah perusahaan yang berlokasi di Washington,D.C, saat ini sedang menguji coba sebuah metode baru yang menurut perusahaan tersebut bisa mengubah sampah menjadi bahan baku asalnya, yaitu minyak bumi.
Untuk mengubah sampah plastik tersebut, Envion menggunakan metode yang berbeda dengan teknologi yang digunakan Global Resources Corporation. Envion memanfaatkan energi panas yang ditimbulkan infra merah dengan mengaturnya pada rentang suhu tertentu. Dengan teknologi tersebut, sebanyak 82% dari sampah plastik bisa diubah menjadi minyak.
Pabrik yang dimiliki Envion rencananya mampu mengubah 6.000 ton sampah plastik menjadi satu juta barel minyak. Minyak tersebut bisa dicapmur dengan komponen-komponen lain dan dijual kembali sebagai bensin dan diesel.
Menurut Michael Han, CEO sekaligus direktur utama Envion, proses pengolahan sampah plastik tersebut untuk menghasilkan minyak satu barel dibutuhkan biaya US$10, meski proses dan detil teknologinya masih ditutup rapat dan belum dipublikasikan. Tetapi rencananya, teknologi yang dimilikinya akan dilisensikan agar bisa digunakan di seluruh dunia.[Green Inc.]

Plastik Dengan Kandungan BPA Bisa Diurai
Senin, 01 Februari 2010 - 16:57:42
Tim Planethijau
Mukesh Doble dan Trishul Artham, dua ilmuwan berkebangsaan India berhasil melakukan eksperimen untuk mengurai plastik polycarbonate yang mengandung bisphenol A (BPA) dengan metode yang lebih ramah lingkungan. Polycarbonate sendiri merupakan plastik yang sangat kuat, dan digunakan di berbagai produk mulai dari kepingan CD dan DVD, lensa kacamata hingga pegangan obeng.

Bisphenol A adalah senyawa organik yang digunakan sebagai bahan pembentuk plastik. Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah banyak dilakukan sebelumnya, senyawa tersebut berpotensi mengganggu kesehatan. Jika plastik yang mengandung senyawa tersebut dihancurkan, maka konsekuensi terkena senyawa berbahaya tersebut meningkat. Solusi amannya adalah menghancurkan plastik dengan metode yang lebih ramah lingkungan.

Kedua ilmuwan tersebut memberikan perlakuan awal terhadap polycarbonate dengan memaparkannya pada sinar ultraviolet dan dipanaskan. Kemudian tiga jenis jamur digunakan untuk menghancurkan polycarbonate tersebut. Prinsipnya sama dengan proses peragian, hanya saja jenis jamur yang digunakan adalah fabled white-rot, jamur yang secara komersial sudah banyak digunakan untuk remediasi lingkungan akibat polusi berat.

Jamur umumnya tumbuh subur pada media organik, namun uniknya, jamur yang digunakan dalam riset tersebut malah tumbuh lebih subur pada plastik. Menurut kedua ilmuwan tersebut, BPA dan bahan-bahan lainnya menjadi sumber pangan.

Hasil eksperimen yang juga membandingkan plastik dengan perlakuan awal dan yang tidak mengalami perlakuan awal, setelah 12 bulan menunjukkan bahwa plastik yang telah mengalami perlakuan awal tersebut mengalami dekomposisi dengan tidak meninggalkan senyawa BPA, sedangkan plastik yang tidak mendapatkan perlakuan awal tidak bisa diurai.


Memulihkan Lapisan Ozon Memperparah Pemanasan Global
Kamis, 28 Januari 2010 - 12:18:05
Tim Planethijau
Masih hangatnya isu pemanasan global seolah mengesampingkan isu yang beberapa waktu lalu melaporkan menipisnya lapisan ozon di stratosfir. Padahal menurut beberapa sumber, keduanya terkait.

Pemanasan global akibat dari meningkatnya jumlah gas rumah kaca seperti karbon, methan, nitrogen dan sebagainya, akan menahan panas yang ditimbulkan aktivitas manusia. Ibarat sebuah batu berbentuk bola yang aktivitasnya menimbulkan panas, maka agar tetap menjaga suhu tetap rendah, panas tersebut harus dibuang.

Hanya saja banyaknya gas di lapisan troposfir mencegah panas itu berpindah ke lapisan stratosfir. Bola batu semakin panas, sementara stratosfir semakin dingin.

Lapisan ozon, di lain sisi merupakan lapisan yang terbentuk dari Ozon (O3) dan berada di lapisan stratosfir. Menurut beberapa referensi tersebut di atas, menurunya suhu di lapisan stratosfir juga mempercepat menipisnya lapisan ozon. Jika suhu stratosfir tetap dan tidak mengalami penurunan, maka menipisnya lapisan tersebut bisa diperlambat.

Jika demikian, maka hal yang harus dilakukan agar lapisan ozon tidak semakin menipis adalah dengan mengurangi laju pemanasan global.

Hanya saja, menurut beberapa peneliti dari University of Leeds tidak demikian halnya. Memperbaiki lubang di lapisan ozon akan semakin mempercepat pemanasan global. Laporan tersebut berdasarkan data penelitian di kawasan Antartika.

Menurut tim dari University of Leeds, angin kencang yang bertiup di kawasan Antartika menerbangkan butiran air laut yang mengandung partikel-partikel garam, yang kemudian membentuk awan. Butiran-butiran air tersebut membentuk awan-awan di atas Antartika menjadi lebih cerah dan lebih reflektif. Dengan kondisi awan yang demikian, banyak sinar matahari yang dipantulkan kembali sebelum mencapai permukaan bumi.

Professor Ken Carslaw yang juga menjadi bagian dari tim tersebut menjelaskan bahwa awan yang terbentuk di atas Antartika merupakan cermin yang memantulkan sinar matahari. Jika angin di kawasan tersebut menurun sesuai dengan hasil penelitian yang telah banyak dilakukan, maka kenaikan suhu di kawasan tersebut menjadi lebih cepat dengan banyaknya sinar matahari yang jatuh di kawasan tersebut.

Menurutnya, jika lapisan ozon akan dipulihkan, maka tidak ada angin kencang yang mengangkat butiran-butiran partikel garam yang membentuk awan dan efek yang terjadi adalah mempercepat naiknya suhu di kawasan tersebut. Professor Ken Carslaw menawarkan solusi dengan menggunakan aerosol sebagai pengganti awan agar cermin besar tetap terpasang di kawasan tersebut.
[gizmag]

Ilmuwan Jepang Temukan Plastik Dari Bahan Dasar Lumpur
Rabu, 27 Januari 2010 - 14:18:22
Tim Planethijau
Hingga saat ini plastik memang belum menemukan bentuknya yang ramah lingkungan. tetapi berbagai usaha telah banyak dilakukan, termasuk satu diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan di Jepang yang dipimpin oleh Takuzo Aida.

Apa yang dilakukan tim ilmuwan dari Jepang tersebut memang tetap tidak jauh-jauh dari kata bumi, hanya saja kali ini bukan minyak bumi yang digunakan tetapi bumi dalam artian tanah liat. Menurut tim tersebut, mencampurkan tanah liat dan air atau lumpur serta bahan penebal khusus dalam persentase yang tepat bisa menghasilkan plastik yang kuat dan bisa memperbaiki diri atau disebut juga dengan hydrogel, yang 98% bagiannya adalah air. Sama seperti plastik yang terbuat dari bahan minyak bumi, plastik ini pun bisa dibuat dan dicetak dalam berbagai bentuk, bahkan waktu yang dibutuhkan untuk menjadi sebuah bentuk juga singkat, hanya 3 menit.

Bagian terpenting dari plastik jenis ini adalah sodium polyacrylate, sebuah material yang mempunyai kemampuan menyerap air dalam jumlah besar. Menurut tim tersebut, kemampuannya mencapai 300 kali berat material tersebut.

Lebih ramah lingkungan? Jika kaitannya dengan emisi karbon dan polusi yang ditimbulkan, tentu plastik ini jauh lebih ramah lingkungan. Tetapi ada satu hal yang memerlukan penelitian lebih jauh. Menurut tim tersebut, meski bahan-bahan yang digunakan merupakan bahan alami, tetapi bahan-bahan tersebut bisa mengakibatkan gangguan sistem endokrin jika tidak ditangani dengan benar.

Jika penelitian yang juga telah dipublikasikan dalam jurnal Nature tersebut mencapai hasil yang diharapkan, maka langkah besar telah dibuat. Lumpur kelak menjadi jauh lebih bernilai dibandingkan hanya menjadi penyebab kekesalan akibat kotor yang ditimbulkannya.

[newscientist]
Plastik Organik Lambat Tapi Pasti Akan Menggantikan Plastik Minyak Bumi
Selasa, 24 November 2009 - 15:29:27
Tim Planethijau
Plastik yang terbuat dari polimer berbasis minyak bumi, kini mulai menjadi tidak menarik. Alternatifnya, saat ini banyak riset yang dilakukan untuk membuat plastik berbasis bahan-bahan alam yang bisa didaur ulang dan ramah lingkungan.

Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST) dan LG Chem bekerja sama melakukan riset pada asam polilaktat, sebuah polimer berbahan dasar organik untuk membuat plastik yang lebih ramah lingkungan. Laporan hasil riset tersebut diterbitkan di jurnal Biotechnology and Bioengineering.

Kerja sama antara KAIST dan LG Chem, menghasilkan sebuah metode baru untuk membuat asam polilaktat (PLA) dengan memanfaatkan strain bakteri E.Coli yang telah direkayasa secara genetik. Dengan metode ini, produksi asam tersebut dan polimer turunannya hanya diperlukan satu tahap proses pembuatan melalui fermentasi langsung. Hasilnya adalah biaya produksi PLA dan polimer turunannya menjadi lebih rendah dan layak secara komersial.

Professor Sang Yup Lee, yang memimpin tim riset gabungan tersebut menambahkan,"Masalah-masalah lingkungan dan pemanasan global mendorong kami untuk mengembangkan proses berkesinambungan yang berbahan dasar sumber daya terbarukan. Metode baru tersebut kemungkinan juga berguna untuk mengembangkan organisme yang sudah direkayasa genetik agar dapat menghasilkan berbagai macam polimer dengan fermentasi langsung dari sumber daya terbarukan."[Wiley]

Mengecat Kembali Permukaan Batuan Dengan Warna Putih Kurangi Laju Pencairan Gletser
Senin, 09 November 2009 - 11:34:51
Tim Planethijau
Pemanasan global memang membuat banyak orang berpikir untuk menemukan solusi yang tepat dalam menghadapinya. Mencairnya lapisan-lapisan es dan gletser di banyak puncak pegunungan juga menjadi salah satu perhatian banyak pihak. Salah satunya adalah sebuah organisasi non pemerintah yang peduli dengan perubahan puncak pegunungan Andes di Peru. Lapisan es di puncak gunung tersebut telah menghilang sebesar 30% selama 30 tahun.
Eduardo Gold, presiden Glacier, organisasi non pemerintah yang mendapatkan pendanaan dari World Bank dan menduduki posisi finalis dari kontes yang diadakan lembaga keuangan tersebut, memberikan saran bagi komisi perubahan iklim di parlemen Peru.
Menurut Gold, sedikit demi sedikit lapisan es berkurang dan menjadikan permukaan tanah dan batuan yang berwarna lebih gelap menjadi terlihat. Akibatnya proses pencairan mendapatkan akselerasi dari panas yang diserap olehnya. Warna gelap memang bersifat lebih mudah menyerap panas.
Gold menambahkan bahwa ada langkah mudah untuk mengatasi masalah tersebut. Di berbagai bangunan dan gedung perkotaan, atap-atapnya dilapisi cat dengan warna putih. Alasannya, putih lebih banyak memantulkan sinar matahari dan banyak energi berupa panas yang dipantulkan kembali ke udara.
Sama halnya dengan yang dilakukan di atap-atap bangunan atau gedung di perkotaan, maka permukaan tanah dan batuan di mana banyak terdapat lapisan es perlu dilapisi dengan cat berwarna putih. Hal tersebut untuk menurunkan suhu batuan dan memperlambat mencairnya lapisan es.
Gold juga menambahkan bahwa cat yang nantinya digunakan merupakan cat ramah lingkungan yang terbuat dari bahan dasar kapur putih dan tidak dicampur dengan komponen-komponen berbahan-bahan kimia. Cat tersebut juga mudah dibuat sendiri oleh masyarakat lokal dan sekaligus menciptakan 15.000 lapangan kerjaselama lebih dari lima tahun.[AFP]

Atap ''Hijau'', Kurangi Pemanasan Global
Jumat, 25 September 2009 - 14:59:47
Tim Planethijau
Ikut menanggulangi pemanasan global bisa dilakukan oleh setiap orang dan dari setiap rumah. Selain menanam pepohonan di sekitar rumah, ada cara lain yang menurut para peneliti juga bisa mengurangi pemanasan global terutama untuk bangunan-bangunan di kota-kota besar.
Menurut Kristin Getter dan rekan-rekannya, seperti yang akan dipublikasikan di jurnal Environmental Science & Technology milik American Chemical Society tanggal 1 Oktober 2009, atap hijau ternyata lebih multi fungsi. Atap hijau sebenarnya atap yang diberi media tanah atau media lainnya dan digunakan untuk menanam tetumbuhan. Selain mengurangi panas dan pemakaian listrik untuk pengkondisi udara (AC), juga bisa menyerap CO2. Menurut Getter, penggunaan atap hijau seluas wilayah Detroit, sama artinya dengan mengurangi CO2 yang dikeluarkan oleh 10.000 truk dan kendaraan pribadi per tahunnya.
Para peneliti tersebut memusatkan penelitiannya pada kemampuan atap hijau dalam menyerap CO2. Dalam sampel-sampel yang dikumpulkan dari 13 atap hijau di Michigan dan Maryland selama lebih dari dua tahun, mereka mendapati atap hijau seluas area bagi 1 juta penduduk bisa menyerap lebih dari 55.000 ton karbon.
Langkah tersebut mudah untuk diikuti. Setidaknya, atap-atap gedung bertingkat yang selama ini dibiarkan tidak berfungsi maksimal, kini bisa dimanfaatkan untuk bercocok tanam dan sekaligus mengurangi pemanasan global. Gedung-gedung di kota-kota besar Indonesia bisa memulainya sebagai wujud kepedulian terhadap pengurangan pemanasan global, dan perumahan-perumahan baru sebaiknya juga mulai memikirkan untuk mendesain arsitekturnya agar bisa memanfaatkan atapnya sebagai atap hijau.[ACS]

Menetralisir pencemaran air dari logam berat
Senin, 04 Mei 2009 - 00:30:46
Tim Planethijau
Lokasi industri yang tidak jauh dari perairan sungai ataupun laut, seringkali mengakibatkan perairan tersebut mengalami pencemaran. Limbah industri seringkali meninggalkan logam-logam berat seperti cadmium, zinc, timah dan besi serta mengakibatkan kerusakan ekosistem.
Menetralisir limbah-limbah tersebut bukanlah hal mudah. Teknologi pengolahan limbah seringkali menekan kondisi finansial suatu perusahaan, tetapi tindakan tersebut tetap diperlukan. Namun berdasar penelitian yang dilakukan oleh tim penelitian yang dipimpin oleh Stephan Kohler dari Graz University of Technology di Austria, ada cara sederhana dan mudah yang bisa dilakukan.
Di satu tempat di pinggir sungai Saigon, Vietnam, tim peneliti tersebut baru saja selesai melakukan pengujian terhadap metode barunya untuk mengatasi pencemaran air. Beberapa industri yang berada di sana menjadi tempat untuk menguji coba bahan pembersih air yang banyak ditemukan di berbagai perairan laut di seluruh dunia yaitu cangkang kerang laut.
Kerang laut memang menjadi bahan hasil penelitian tim tersebut yang murah dan berlimpah. Seperti negara-negara berkembang lainnya, Vietnam juga mengalami masalah air bersih, bahkan jutaan warganya masih belum bisa mengakses air minum bersih. Perusahaan-perusahaan lokal belum mampu sistem penyaringan untuk mengolah air limbah.
Kohler bersama timnya menemukan bahwa dengan menuangkan logam dan air dengan pH asam di atas kulit-kulit kerang yang sudah dihancurkan akan dihasilkan air bersih. Kandungan kulit kerang tersebut adalah kalsium karbonat (CaCO3), maka jika terjadi reaksi kimia, dengan mudah atom-atom kalsiumnya akan mudah terlepas dan mengikat logam-logam dan mengubahnya menjadi berbentuk padat. Proses pembersihan air pun akhirnya menjadi jauh lebih mudah.

Ethanol berbasis jagung, benarkah ramah lingkungan?
Senin, 20 April 2009 - 15:47:32
Tim Planethijau
Biofuel, salah satunya adalah ethanol, menurut sebagian besar orang merupakan alternatif bahan bakar yang ramah lingkungan. Anggapan itu wajar jika dilihat dari sisi emisi gas rumah kaca yang dihasilkannya adalah sangat rendah. Hanya saja masih perlu dipertanyakan kebenarannya jika dipandang dari sisi yang lain.
Ethanol berbasis jagung sudah sejak lama menjadi perhatian, terutama dampak yang ditimbulkannya terhadap lingkungan, seperti polusi akibat pemakaian pupuk, pestisida , herbisida, erosi tanah, emisi gas rumah kaca saat produksi, dan tergantikannya lahan bahan pangan menjadi bahan bakar.
Sebuah hasil penelitian yang dilakukan ilmuwan-ilmuwan di University of Minnesota belum lama ini diterbitkan di jurnal Environmental Science and Technology, juga menambah daftar panjang dampak dan kerugian yang ditimbulkan ethanol berbasis jagung. Dalam hasil riset disebutkan bahwa ethanol yang didapatkan dari jagung ternyata mengkonsumsi air tiga kali lebih banyak dari yang diperkirakan sebelumnya. Berdasar rata-rata produksi tahunan di Amerika Serikat, 1 liter ethanol yang didapat dari jagung membutuhkan 263 hingga 784 liter air untuk menumbuhkan dan mengubahnya menjadi bahan bakar. Meski angka tersebut bisa berbeda-beda untuk setiap negara bagian, tergantung juga kepada sistem irigasi yang dimilikinya.
Sangwon Suh, asisten profesor teknologi biosistem di universitas tersebut mengatakan, Ethanol mengkonsumsi air lebih banyak dari waktu ke waktu seiring dengan bertambahnya lahan pertanian yang membutuhkan irigasi yang juga lebih banyak. Artinya, lebih banyak air yang dibutuhkan untuk menghasilkan ethanol selama sekian waktu.
Suh bersama dengan rekannya mencatat berapa banyak irigasi untuk lahan jagung, baik sebagai bahan pangan ataupun bahan bakar, lokasi lahan, tingkat produksi dan pemakaian air oleh fasilitas produksi ethanol dari jagung yang sudah ada sebelumnya. Hasilnya, lebih dari 80% jagung yang digunakan untuk membuat ethanol dipanen sejauh 64 kilomoter dari tempat pengolahannya.
Di beberapa tempat, hanya dibutuhkan beberapa liter untuk mendidihkan, fermentasi dan distilasinya. Wilayah yang banyak terdapat sumber air tidak akan mengalami banyak masalah untuk keperluan irigasinya. Sedangkan di wilayah lain, bisa mencapai angka yang jauh lebih besar.
Hasil studi tersebut menjadikan ethanol berbasis jagung semakin dipertanyakan. Bahkan David Pimentel dari Cornell University yang pernah melakukan penelitian tentang besarnya energi yang dibutuhkan untuk membuat ethanol dibandingkan dengan membakarnya, mengomentarinya dengan kalimat This is one more nail in the coffin for ethanol. Artinya semakin banyak bukti yang memperlihatkan kekurangan ethanol, maka semakin ethanol menjadi tidak menarik.
Kontra pun timbul, pertanyaan juga muncul dari Geoff Cooper, wakil dari Renewable Fuels Association di Washington D.C, yang mempertanyakan bagaimana kebutuhan air bisa meningkat tiga kali lipat bersamaan dengan bertambahnya produksi ethanol menjadi dua kali lipat. Menurutnya, peningkatan produksi yang terjadi di tahun 2005 hingga 2008 pada wilayah-wilayah sentra jagung tidak dibarengi dengan penambahan sistem irigasi dan bahkan tanpa irigasi. Jagung-jagung juga tidak ditanam di area yang kurang air.
Terlepas dari pro-kontra yang ada, Suh tetap optimis bahwa konsumsi air bisa terus dikurangi seiring dengan berlipatgandanya produksi ethanol. Kemajuan bioteknologi dengan rekayasa genetikanya memungkinkan didapatkannya jagung dengan karakteristik tersebut. Tetap saja Geoff Cooper mengingatkan bahwa ethanol masih perlu penelitian lebih lanjut.

Material dalam lampu pijar tidak ramah lingkungan
Kamis, 22 Januari 2009 - 09:04:34
Tim Planethijau
Masih menggunakan bola lampu? Ada sebuah artikel yang menyatakan bahwa salah satu bahan yang digunakan dapat mengakibatkan efek yang membahayakan bagi kesehatan.
Dalam salah satu artikel bertajuk "Unease Over Tungsten" yang diterbitkan American Chemical Society, para ilmuwan baru-baru ini telah mengetahui bahwa tungsten, bahan yang digunakan sebagai media untuk mengalirnya arus listrik dan mengakibatkan lampu menyala, ternyata juga berbahaya bagi lingkungan meski masih lebih berbahaya timah dan merkuri.
Sebelumnya para ahli berkeyakinan bahwa tungsten jauh lebih ramah dibandingkan dengan timbal ataupun merkuri. Hingga akhirnya logam tersebut digunakan sebagai bahan untuk membuat peluru, perhiasan dan bola lampu.
Berdasarkan temuan terakhir para ahli, kini Departemen Pertahanan Amerika Serikat dan Environmental Protection Agency telah mengklasifikasikan logam tersebut sebagai bahan kontaminan berbahaya yang perlu mendapat perhatian.
Kesimpulan sementara yang diambil para ahli didapat setelah diketahui logam tersebut mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tanaman, menimbulkan masalah reproduksi pada cacing, dan mengakibatkan kematian yang lebih cepat pada binatang-binatang air tertentu.
Jadi, lebih baik berhati-hati dalam menggunakan bola lampu dan membuang bola lampu bekas, sebelum menambah daftar panjang kerusakan lingkungan yang diakibatkan, sambil menunggu penelitan yang lebih mendalam.

Kulit Pisang Dan Kulit Sepatu Anda

Jumat, 12 Februari 2010 - 08:04:05
Tim Planethijau
Pisang yang cukup masak bisa diolah menjadi berbagai jenis makanan. Anda hanya tinggal membeli majalah atau buku resep yang mengulas tentang bagaimana cara membuat kue, cake atau makanan lainnya. Tetapi jika pertanyaannya adalah bagaimana cara memanfaatkan kembali kulit pisang yang baru saja Anda ambil isinya untuk dibuat makanan, mungkin Anda akan kebingungan.
Sebenarnya untuk memanfaatkan kembali kulit pisang hanya dibutuhkan sedikit eksperimen. Kulit pisang bisa Anda jadikan sebagai pengganti semir sekaligus pembersih bagi sepatu kulit Anda. Anda tinggal menggosokkan bagian dalam kulit pisang ke seluruh bagian kulit sepatu Anda. Jika semua bagian kulit sudah Anda sapu dengan kulit pisang, lanjutkan dengan membersihkan sepatu Anda menggunakan kain kering yang lembut. Hasilnya sepatu Anda akan kembali bersih dan tampak seperti baru. [wikihow]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar